Hutan Wakaf, Inisiatif Menghijaukan Aceh

Penulis: Liza Fathia | kredit foto: Azhar

“Liza, ayo bergabung dengan Komunitas Hutan Wakaf,” ajak Akmal Senja, seorang teman yang sudah lama saya kenal dan sangat peduli terhadap lingkungan. Kiprahnya dalam penyelamatan lingkungan sudah tidak diragukan lagi. Tulisan-tulisan tentang penyelamatan lingkungan dan argumentasi tentang kerusakan hutan serta kebijakan yang tidak berpihak pada kelestarian alam ia tuangkan dalam blog Hutan Tersisa. Sebuah buku yang berjudul sama pun telah diterbitkan. Tabek untuk bang Akmal.

 

Melalui diskusi ringan bersamanya lewat Facebook, saya belajar banyak hal tentang lingkungan. Bahkan, tidak jarang jika ingin menulis sebuah tulisan yang berhubungan dengan hutan dan lingkungan, saya sering meminta saran darinya. Contohnya saja tulisan tentang Pencemaran Merkuri di Tambang Emas Geumpang – Mane – Tangse.

Ajakan tersebut tidak langsung saya iyakan. Saya masih belum paham dengan hutan wakaf yang ia maksud. Memang, istilah wakaf sudah tidak asing lagi di telinga. Ia memiliki makna memindahkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan yang memberi manfaat bagi masyarakat banyak. Lalu apakah hutan wakaf ini mempunyai arti yang sama dengan wakaf pada umumnya? Konsep yang ditawarkan seperti apa?

hutan wakaf

Proyek percontohan hutan wakaf di Jantho, Aceh Besar (Kredit Foto: Azhar)

Penasaran, saya pun mengunjungi situs hutan-tersisa.org milik bang Akmal. Blog sederhana yang telah bermetamorfosis menjadi sebuah situs yang sangat menarik dan menjadi referensi banyak pihak khususnya yang berhubungan dengan lingkungan. Saya pun mencoba menelaah visi dan misi komunitas ini.

“Hutan wakaf adalah inisiatif konservasi berbasis wakaf. Sebuah inisiasi yang dimulai sejak tahun 2012 yang awalnya hanya berupa tim kecil dengan 4 orang anggota dan sekarang telah menjadi sebuah grup atau komunitas.” Jelas bang Akmal pada sebuah tulisan di blognya.

Konservasi tersebut dimulai dengan membeli lahan kritis yang diperuntukkan ekologis untuk membangun hutan yang berfungsi secaras, baik sebagai sumber mata air maupun penyerap karbon. Selain itu, pada hutan wakaf tersebut diupayakan dapat menyediakan buah-buahan dan tanaman obat, pepohonan tempat bersarangnya burung, lebah madu, primata, dan beragam spesies lainnya, dan bahkan kayu untuk dijadikan keranda saat seseorang meninggal.

“Karena statusnya wakaf, maka lahan tersebut disertifikatkan atas nama semua orang yang telah menyumbangkannya.”

Menurut lelaki yang memiliki nama asli Afrizal Akmal itu, ancaman terhadap hutan selama ini adalah konversi langsung untuk pembangunan pemukiman, jalan, perkebunan besar, dan lainnya. Hektaran hutan yang dikelola negara sewaktu-waktu bisa saja dikonversikan oleh rezim yang berkuasa. Apalagi hanya sebidang lahan yang dimiliki secara pribadi oleh masyarakat. Meskipun negara sebenarnya melarang mengkonversi lahan-lahan tertentu, namun tidak ada jaminan aturan tersebut akan tetap bertahan.

“Rezim berikutnya bisa saja mengubah aturan yang ada.”

Oleh karena itu, kehadiran hutan wakaf setidaknya dapat sedikit membendung ketamakan para penguasa untuk mengalihfungsikan hutan.

Fokus hutan wakaf ini adalah lahan kritis dan lahan potensial. Lahan kritis yang dibiarkan tanpa adanya perbaikan, maka secara ekologis, hidrologi, ataupun ekonomi lahan tersebut sama sekali tidak bermanfaat. Demikian pula dengan potensi lahan. Namun jika lahan tersebut dikelola dengan baik tentu akan memiliki nilai yang sangat bermanfaat bagi lingkungan dan ekonomi masyarakat.

“Hutan wakaf adalah salah satu kesepakatan dalam mencermati dinamika pengelolaan hutan yang selama ini masih didasarkan pada pendekatak sekularistik dan ateistik. Hutan wakaf menjadi sebuah pertimbangan terhadap ancaman krisis lingkungan yang terus meningkat terutama sebagai dampak dari deforestasi yang tidak terkendali. Lewat hutan wakaf ini diharapkan generasi masa depan masih bisa merasakan keindahan hutan dan sumber daya di dalamnya.”

Saya pun semakin tertarik dengan konsep hutan wakaf. Terlebih lagi sebagai seoarang muslim, saya bisa beramal dan ikut menghijaukan Aceh lewat program ini.

Tidak ada batasan berapa jumlah donasi yang harus disumbangkan untuk hutan wakaf. Jika dana yang terkumpul sebanding dengan harga lahan, dana makan tersebut akan dicairkan untuk pembelian lahan. Demikian pula dengan agama sang donatur, meskipun konsep hutan wakaf ini mengacu pada hukum Islam, namun siapapun dapat berkontribusi.

 

Selain berbentuk uang, bang Akmal dan tim hutan wakaf juga melakukan pengumpulan dana dengan membuat beragam merchandise, salah satunya adalah baju kaos dengan ilustrasi hutan wakaf.

“Alhamdulillah, sebagai pilot project pada tanggal 8 Januari 2017 lalu panitia persiapan lahan telah membeli 1 hektar lahan di Jantho, Aceh Besar senilai Rp 15.000.000. Selanjutnya lahan tersebut akan dibangun hutan di atasnya. Setelah itu baru diwakafkan untuk dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.” Ungkap Akmal dengan bangga.

hutan wakaf

kaos hutan wakaf yang bisa dibeli langsung di situs hutan-tersisa.org. hasil penjualan kaos ini akan disumbangkan untuk hutan wakaf. (Kredit Foto : hutan-tersisa.org)

 

Tulisan ini dibuat sebagai bentuk dukungan terhadap Hutan Wakaf dan dalam rangka peringatan Hari Hutan Sedunia yang jatuh pada tanggal 21 Maret.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *