Perempuan setengah baya, anak kecil dalam gendongan dan kakak beradik itu tidak datang begitu saja, ia ada karena diadakan –
diproduksi oleh keadaan.
Maka saya tulis beberapa surat pendek tentang perkara yang
menurut saya penting. Tentang perihnya hidup kaum proletar. Ya, mereka sama
seperti kita; manusia.
Tetapi mereka diberi cap, gelandangan. Kita tidak tahu atas
dasar apa pula mereka diberi cap. Mereka tidak mendapatkan apa-apa dari negara
selain dikutuk secara universal. Maka di sini, para Kurcaca bertahta dengan
ambisi berkuasa yang ganas, memberi judul, mencap siapa saja dengan keji kepada
siapa saja yang ia inginkan.
Kurcaca sebenarnya bukan sosok yang memikat. Ia makhluk
mitologi yang menyebalkan, tidak jelas apakah ia gendut atau kurus. Namun di
sini, di kota biadab Kurcaca lahir sebagai sosok nyata yang penuh janji dengan
kebajingannya yang rapi dan sopan.
Dan di jalanan, pencurian hak berlangsung sederhana, tapi
tak pernah selesai. Terus berlangsung tanpa keadilan. Di jalanan, manusia menyandang
identitas yang tetap; gelandangan. Mungkin itu sebabnya di dalam kehidupan
mereka, di jalanan, ketidakadilan hidup itu jarang jadi percakapan. Mereka
menjalaninya saja, mengikuti keadaan. Suara mereka tak kedengaran, mati dan
sunyi.
Keadaan semacam ini
bukanlah kenangan yang kabur, bukan juga masa lalu yang berubah bersama waktu.
Tetapi masih terjadi di hari ini. Dalam kota yang lupa kita rumuskan
seperti apa bentuknya ini, kita
bertemu dengan mereka. Ya, seperti halnya
sejarah; sering berlangsung tanpa manusiawi, pembangun yang sepi nilai-nilai,
membangun tiang dengan semen dusta dan air mata.
Maka apalah artinya menulis surat kepada para Kurcaca, sebab
menuntut keadilan itu sia-sia. Di sini kebakhilan masih dibanggakan, entah apa
sebabnya.
0 komentar:
Posting Komentar