“Politik adalah ilmu melayani rakyat, bukannya hidup dari rakyat”. Kata-kata itu tersimpan dalam ingatan setiap orang Bolivia. Ya, tahun 2006 - kalimat itu diucapkan oleh Evo Morales, presiden pemberani. Presiden rakyat yang memahami kepada siapa ia semestinya menjadi pelayan, dan ia memilih melayani rakyatnya. Rakyat Bolivia.
Demi
memulihkan penguasaan atas minyak, gas dan kekayaan alam lainnya yang
sebelumnya dikuasai oleh korporasi asing, Morales merealisasikan janjinya untuk
menasionalisasi perusahaan migas di negaranya. Pada 1 Mei 2006, tentara Bolivia
diperintahkan untuk menduduki 56 ladang gas dan minyak serta instalasi
penyulingan di seluruh negeri. Rakyat Bolivia tidak mampu menyembunyikan
kegembiraan mereka, karena presidennya seorang pemberani – menolak dan menentang
dominasi Amerika Serikat, demi menolong rakyatnya yang miskin.
Di bawah Evo
Morales, rakyat Bolivia menjadi tumbuh dan kaya setelah semua kontrak karya
pertambangan di renegosiasi (negosiasi ulang). Salah satu isi dekritnya, “migas
hanya boleh di ekspor setelah kebutuhan domestik Bolivia dipenuhi”. Jika tidak
setuju, perusahaan asing dipersilahkan meninggalkan Bolivia. Dan bagi
perusahaan asing yang setuju, silahkan mencari makan di Bolivia, dengan syarat tunduk
kepada kemauan pemerintah, yang hakekatnya kemauan rakyat Bolivia. Morales menerobos
rintangan mental, moral politik dan ekonomi yang sebelumnya sengaja disesatkan
oleh berbagai korporasi asing.
Ya, Bolivia
memang bukan Indonesia, negara pengemis dengan sejuta prahara sosial. Pemimpinnya
sangat takut (takutnya teramat takut), tidak berani mengambil langkah negosiasi
ulang kontrak karya industri migas dan pertambangan dengan asing. Beraninya cuma
sama tukang kacang goreng – alias menaikkan harga BBM dengan macam-macam alasan.
Sebab di sini, politik adalah serakan janji yang tidak utuh. Ia bergerak ke arah
yang lain.
Dan di
jalanan, di trotoar yang penuh “amuk” itu terkadang negara gagal menempatkan
diri.