1970-an. Tahun-tahun dimana dua orang bermulut mencret; Friedrich Van Hayek dan Milton Friedman menyusupkan faham neoliberal melalui sekolah-sekolah ekonomi dan kelompok-kelompok pemikir. Proyek itu didanai oleh komprador, konglomerat dunia. Hasilnya, alumnus-alumnus dari sekolah itu dipekerjakan di Bank Dunia yang sebenarnya milik Amerika Serikat, IMF dan WTO dengan konsep utamanya – neoliberal.
Skenario besar ini kemudian dengan gigih didukung oleh
Inggris dan Amerika Serikat. Maka terjadilah deregulasi, privatisasi dan
liberalisasi oleh lembaga-lembaga keuangan internasional lewat mesin-mesin
pinjaman yang diarahkan kepada negara-negara debitor, seperti Indonesia.
Setiap satu dolar yang diberikan kepada negara-negara
debitor, selalu diserta prasayarat – Structural Adjustment Programme (SAP).
Agenda utama SAP adalah meremukkan tatanan sistem dan eksistensi masyarakat
adat di suatu negara agar sesuai dengan mekanisme pasar bebas yang mereka
rekayasa.
1980. Indonesia menjadi santapan empuk neoliberalisme lewat
perubahan kebijakan di sektor moneter dan keuangan; dari devaluasi rupiah
sampai dengan pajak pertambahan nilai dan pajak bumi dan bangunan. Di bidang
perdagangan, terjadi pengurangan tarif impor hingga 60 persen.
Resep jitu neoliberalisme melanjutkan ekspansinya di negeri
ini ke sektor listrik lewat skenario pendanaan bersama; Bank Dunia, ADB dan
JBIC. Di lanjutkan dengan masuknya perusahaan-perusahaan swasta dari negara
maju yang siap menjarah sumber daya alam milik pribumi.
Apa yang brengsek dari skenario ini?
Perusahaan-perusahaan asing itu dapat menentukan harga menurut
selera mereka sendiri. Kelakuan konglomerat global semata-mata didasari prinsip
memberi sedikit mungkin, lalu menjarah sebanyak mungkin dari sumber daya alam
yang tersedia. Inilah yang berlaku.
Cara yang paling mulus adalah memberi suap pejabat negara
dimana pun perusahan-perusahaan asing itu beroperasi. Tidak jarang, mereka
membantu rezim yang korup dalam urusan-urusan politik nasional.
Setelah tahun-tahun reformasi di Indonesia, rezim lama
ditumbangkan. Tetapi tidak benar-benar runtuh. Rezim yang baru segera
melanjutkan tradisi; penjarahan baru, eksploitasi baru. Juga janji-janji
kemakmuran yang baru.
Tetapi kesenjangan sosial bukannya merosot. Ia semakin memuncak
– menyapu nilai-nilai. Kemiskinan semakin parah. Sementara harta satu orang
kaya sama dengan jumlah penghasilan setahun ribuan buruh.
Dan bagi sumber daya alam di rimba, inkonsistensi negara
dalam pengelolaan kawasan hutan juga terus berlangsung. Ada sedikit perlindungan
negara di sana, tetapi juga ada introduksi yang parah dari praktik-praktik
pembangunan yang merusak; Juga oleh negara.
Begitulah…
0 comments:
Post a Comment