Di sini, di luar ikrar damai, di luar Helsinki, di luar MoU, di Nanggroe, kita ditawari ucapan-ucapan yang bersifat makian dan hinaan, sikap hegemoni atas kebenaran sepihak. Kebengisan politik diskriminatif dan tidak apresiatif terhadap perbedaan, yang pada akhirnya membentuk bangunan kecemasan yang sangat dahsyat di masyarakat.
Fuad Mardhatillah UY Tiba, benar
ketika menilai bahwa ada banyak warisan budaya politik masa lalu yang belum
berubah tuntas di Aceh.
Damai belum sepenuhnya utuh.
Saya ingin mengamini itu, memang
tidak gampang mengubah cara berpikir masa lalu: bertransformasi dari alam yang
bengis ke alam yang benar-benar damai dan bermartabat. Atau jangan-jangan
kecemasan dan trauma politik itu memang sengaja terus dirawat sepanjang abad.
Oleh diri sendiri.
Dalam proses itu, hilang
kemampuan orang untuk mempertimbangkan dan memahami perkara yang tengah
berlangsung secara hati-hati. Orang pun terus-menerus berbicara provokatif.
Sayangnya nada-nada semacam itu keluar dari mulut pejabat publik.
Sampai di sini saya tidak ingin
melanjutkan. Biarlah itu menjadi urusan musang berjanggut, sebab merekalah yang
memulai. Sebab saya juga khawatir kebengisan mereka tertuju kepada saya. Saya tidak
ingin terburu-buru menyimpulkan. Maka saya lebih menyukai kesendirian,
memperhatikan pohon tumbuh. Hening.
Dalam hening, saya tidak akan
dikerubuti kecemasan. Dalam hening saya dapat merenung sebelum bertindak. Dalam
hening ada karunia kebebasan. Karunia kemerdekaan. Tak perlu peluru.
Saya tidak membutuhkan istana
untuk merasa merdeka. Saya pikir bangunan megah kurang mencerminkan hakekat
kebebasan dan kedamaian. Mereka bisa membangun bangunan besar semegah istana,
namun tetap tidak mendapatkan rasanya.
Sebab istana yang sesungguhnya
adalah kedamaian, keheningan, kebebasan berpikir dan memilih.