Di
sini pasar bukan semata-mata tempat untuk jual beli atau pertukaran barang
maupun jasa. Bisakah kita memperhatikan? Ada yang berbusana bagus, tetapi
banyak juga pengemis yang buta atau kehilangan sebelah tangan atau kakinya. Beberapa
orang memberi sedekah kepada pengemis dan yang lainnya tidak. Beberapa orang
mengendarai motor tua, sebagian lagi mengendarai mobil, dan yang lain berjalan
kaki.
Dari
semua manusia-manusia itu, siapa yang berstatus tinggi dan siapa yang rendah? Atau
siapa yang akan diterima oleh Tuhan? Semua tidak memiliki tanda apa pun. Sebab
Tuhan menerima siapa pun yang baik. Ketika M. Rahim Bawa Muhaiyaddeen menulis Kebun Ma’rifat [3] di tahun 1982, kita
disadarkan bahwa di pasar dunia, manusia dalam bahaya.
Dan
Goenawan Mohamad benar ketika mengulang catatan Nietzsche; “kita tidak tahu
persis apa pasar baginya, atau bagaimana ia membayangkannya. Tidakkah pasar
adalah sebuah tempat di mana kesendirian sebenarnya justru hadir: kebersamaan
yang semu, perjumpaan yang sementara dan hanya berlangsung di permukaan,
pertemuan antara sejumlah penjual dengan sejumlah pembeli, yang masing-masing
pertama-tama hanya memikirkan bagaimana kebutuhan sendiri dipenuhi?”
Model
sebuah pasar adalah tempat di mana orang di dekat kita adalah pesaing kita. la
mendesak kita untuk berpacu. Kita ingin mengalahkannya dan ia ingin mengalahkan
kita. Di dalam pasar, rasa iri bukan hal yang salah, rakus bisa jadi bagus, dan
keduanya dilembagakan dalam sebuah sistem. Nietzsche ketika mengungkapkan itu
dalam Zarathustra di tahun 1983 ingin agar dari sini orang pergi ke
kesendirian.
Dalam
catatan lain Goenawan Mohamad juga menulis, “di tiap pasar selalu ada yang
bukan pasar. Dan itu dibutuhkan. Ada pohon-pohon yang meneduhi kaki lima. Ada
sumur di halaman belakang yang dipakai ramai-ramai. Ada peturasan untuk buang
air siapa saja. Dan tak jauh dari sana, ada jalan raya dengan rambu-rambu lalu
lintas.
Namun
kapitalisme yang berorientasi laba selamanya mendapatkan dukungan dari
nilai-nilai institusional yang lain. Nilai-nilai: hal-hal yang bukan komoditas,
tak bisa diklaim sebagai milik dan diukur dengan nilai tukar.
Ketika
kapitalisme bisa meyakinkan setiap orang bahwa ia dapat mengabaikan moralitas
dan semangat bermasyarakat, public spirit, dan hanya mengandalkan gairah
mengejar kepentingan diri, sistem itu akan menggerogoti vitalitasnya sendiri.
Sebab vitalitas itu berangkat dari sikap menghormati norma-norma moral
tertentu, sikap yang katanya tak diakui dan dianggap penting oleh ideologi
resmi kapitalisme.
Pasar
yang hanya mengakui bahwa rakus itu bagus, berhasil mengeruk dan menipu
orang-orang yang membelanjakan uang dengan penuh kepercayaan. Muhaiyaddeen
mengajak kita keluar dari sini.
Bisa jadi bahan belajar tentang marketing nih :D
ReplyDeleteCut Isyana, semoga bermanfaat.
ReplyDeleteSalam...