Romantisme hutan sebagai zamrud khatulistiwa tampaknya terus
memudar. Para pujangga mungkin sedang kehilangan syair tentang damai dan
rimbunnya pohon-pohon. Hutan yang dahulu hijau kini berubah warna. Pertanda
bahwa tegakan hutan yang dahulu lebat kini berkurang bahkan hilang.
Seperti Si bodoh yang menghambur-hamburkan hartanya, rezim
penguasa secara turun temurun bersekutu dengan bandit dan bertindak
serampangan, sesuka hati tanpa ada yang menghukum atau yang membuat perhitungan.
Ketidak pedulian terhadap hal ini menunjukkan pertanda buruk.
Menjadi sangat riskan ketika laju deforestasi terus
meningkat dari tahun ke tahun. Kebakaran hutan dalam skala besar terus berulang
setiap tahunnya, pencurian kayu dan penyeludupan juga kian marak.
Memang desentralisasi dan otonomi daerah yang seluas-luasnya
sedang berlangsung di tengah tuntutan masyarakat sekitar hutan yang menginginkan
adanya rasa keadilan dalam pengelolaan hutan. Namun benturan kepentingan antara
berbagai kelompok belum sepenuhnya mencapai titik temu. Ada kepentingan
pemerintah pusat melawan daerah, juga kepentingan provinsi melawan kabupaten.
Sinisme terhadap pemerintah daerah yang tidak kreatif,
sumber daya manusia yang tidak siap, hanya bersifat konsumtif, menjadi penonton
yang baik dari segudang siasat pemerintah pusat, serta balas budi hutang
politik dengan partai Si fulan, telah menjadi kecurigaan yang meluas. Semua
cukup diatur dari sana.
Persoalan tata ruang provinsi/kabupaten yang tidak pernah
tuntas adalah kanker ganas yang menambah runyam situasi dan memicu perebutan
lahan, tumpang tindih areal dan konflik lahan antara masyarakat dengan pemegang
konsesi.
Masa transisi yang terlalu panjang seolah sengaja diciptakan
entah untuk kepentingan apa? Konkritnya, kondisi di lapangan begitu rawan,
karena hampir tidak berlaku jaminan hukum tentang kepastian tata ruang dan
lahan. Saling klaim, rebut merebut, penjarahan, pematokan batas dan
kesewenang-wenangan.
Waktu demi waktu terus bergulir. Rezim demi rezim terus
berganti seiring perkembangan sosial politik. Pola pemerintahan sentralistik dan
militeristik telah runtuh, berganti rezim reformasi yang mengusung semangat
demokrasi.
Desentralisasi dan otonomi daerah bahkan self government
yang di dewa-dewakan itu ternyata bukanlah obat jitu atau formula yang ampuh
bagi belantara di sana. Reformasi ternyata kosong isinya. Pada titik ini, ia
tidak menunjukkan kemajuan sama sekali. Lembarannya bagaikan catatan-catatan
sakit yang tidak berubah-ubah.
0 komentar:
Posting Komentar