untuk membangun ibukota sebagai pusat pemerintahan Indonesia, selebihnya dialihkan kembali kepada daerah dan sedikit sisanya untuk dibagikan ke provinsi-provinsi yang miskin sumber daya alam.
Usai perang pemberontakan yang berujung rujuk di Helsinki
ternyata tidak banyak merubah keadaan. Pembagian migas dari sumur minyak yang
hampir kering itu hanya hangat diawal-awal saja. Dalam hal peraturan
daerah, beragam qanun lahir dalam keadaan prematur.
Sementara di sektor kehutanan, pembalakan hutan tidak pernah
benar-benar terkontrol, padahal qanun yang mengatur tentang kehutanan telah
lahir lebih awal, bahkan sebelum pemberontakan itu ditamatkan, jauh sebelum
bencana tsunami. Dengan segala keganjilan, qanun tentang kehutanan nomor 14 itu
disahkan pada tahun 2002 di bawah rezim Abdullah Puteh. Sebutan untuk Pemerintahan
Aceh pada masa itu masih bernama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Tidak ada yang mengesankan dari qanun yang memuat 47 pasal
itu. Bahkan tidak jelas menerangkan mengenai istilah penebangan kayu ilegal. Disinilah
perkaranya, padahal menjadi sangat penting untuk memberikan batasan terhadap
tindakan-tindakan apa yang termasuk ke dalam lingkup penebangan kayu ilegal.
Unsur pasal-pasal krusial cendrung hanya menjerat pelaku lapangan, selebihnya
tidak ada yang bisa diharapkan.
Setelah disahkan pada 14 Oktober 2002, produk hukum ini pun
dengan segera dilupakan – tidak pernah diterapkan atau pun diuji coba dalam
sebuah perkara kehutanan di Aceh. Bagai tahi ayam yang hangat sebentar, lalu
lenyap entah kemana, atau seperti misteri hantu yang bayangannya hadir sebentar
saja sebelum benar-benar menghilang. Dan dalam kurun waktu tersebut, Aceh telah
kehilangan ratusan ribu hektar hutan alamnya. Hampir semua kasus pembalakan
liar yang dituntut, berujung kepada vonis bebas murni.
0 komentar:
Posting Komentar