dalam bentuk-bentuk dekstruktif.
Mungkin Redfield
benar ketika menulis dalam bukunya “Masyarakat Petani dan Kebudayaan, (1982) - bahwa
masyarakat desa mungkin telah memelihara kebudayaan rakyatnya dengan sedikit
sekali mendapat pengaruh dari kelas atas”. Perkara mulai muncul ketika
orang-orang hebat dari kelas atas mulai merangsek ide-ide yang tidak sepenuhnya
baik. Pendekatan konservasi dengan pembuatan dan pengelolaan Taman Nasional
yang tampaknya mudah dalam teori, mendirikan “pagar” dan orang tidak boleh
masuk. Bila tidak ada seorang pun dalam Taman Nasional yang melakukan kegiatan
melanggar hukum, itu mereka anggap berhasil.
Sejak saat
itu, benturan kepentingan menyeruak oleh perbedaan nilai, status, dan kekuasaan
terhadap sumber daya. Konflik mewujud dalam ekspresi heterogenitas dan
keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan
sosial yang muncul bertentangan dengan tradisi yang diwariskan.
Para praktisi
konservasi dan pengelola Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) telah mengalami
kesulitan besar untuk menunjukkan dampak proyek yang mereka tangani. Ketidakpercayaan
berlangsung bertahun-tahun. Satu kemungkinan penyebabnya adalah bahwa proyek
konservasi berbasis Taman Nasional telah menjadi lebih kompleks dalam
pelaksanaannya, tidak semudah yang diteorikan.
Faktor
penyebab konflik yang paling sering terjadi adalah ketidakjelasan tata batas
hutan bagi masyarakat di sekitarnya. Dalam perspektif lain, hak dan tata guna
lahan, ekonomi dan politik yang berhubungan dengan kawasan konservasi juga
memberi konstribusi nyata bagi runyamnya pengelolaan Taman Nasional. Di titik
ini, konflik bukan sekedar daur hidup dengan sifat-sifat bawaan. Tetapi
bertransformasi, bertambah cepat.
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang sejatinya merupakan
kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, telah gagal dalam sistem
zonasi, juga gagal dalam fungsinya sebagai kawasan pelindung sistem kehidupan. Para
pengelola mungkin sedang menyembunyikan pesan verbal, namun pesan terhadap
kegagalan mereka selalu terungkap lewat berbagai bencana. Banjir dan tanah
longsor.
Dan kita perlu mengungkap secara jujur, bahwa bukan hanya
sulit dan mahal untuk mengelola sebuah Taman Nasional. Meskipun Taman Nasional
dapat dimanfaatkan untuk pemanfaatan
tradisional berupa kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya
tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak
dilindungi - tetapi juga tidak praktis dan tidak etis selamanya membiarkan
penduduk lokal tidak berdaya secara ekonomi dan politik ditengah melimpahnya
sumber-sumber daya alam di kawasan taman. Keseimbangan antara konservasi dan
penggunaan sumber daya alam oleh masyarakat setempat adalah tantangan utama
yang harus dikelola sebagai tujuan akhir.
Kekuatan sosial, ekonomi dan politik adalah faktor yang
tidak boleh dihilangkan dalam menjamin keamanan jangka panjang dari
kawasan-kawasan alami itu, agar patok tanda Taman Nasional tidak menjadi
kebencian yang meluas di masyarakat. Apalagi status World Heritage Rainforest yang
dimiliki Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sesuai ketetapan UNESCO telah
menjadi keraguan serius dalam monitoring tahunan mereka dan dinilai sedang
dalam keadaan Red List.
0 komentar:
Posting Komentar