itu semakin menjadi-jadi. Ia adalah Nuh, Nabi utusan Allah.
Bagi kaumnya, Nuh dianggap pura-pura menggertak. Maka Nuh
berkata, “tidak ada gunanya nasehatku…”. Lalu Tuhan menyuruh Nabi Nuh untuk
membuat bahtera kapal. Tibalah masa untuk tidak perlu lagi meributkan
orang-orang zalim itu, mereka akan ditenggelamkan.
Penayangan cerita banjir Nabi Nuh dalam Al-Quran menjadi
paling lengkap, meliputi prolog sampai epilog. Al-Quran, Surat 11 ayat 32-37
adalah dialog sekaligus prolog yang mengisahkan kendala penyebaran risalah.
Alur terjadinya banjir, tertuang dalam Al-Quran, Surat 11 ayat 38-44. Dalam
ayat ini diterangkan bahwa Nabi Nuh masih mendapat ejekan oleh setiap orang
yang lewat ketika membuat kapal. Lalu banjir pun datang, dan Tuhan menyeru agar
Nuh juga mengangkut setiap species secara berpasang-pasangan. Bahtera itu
berlayar membawa mereka menerjang gelombang.
Nuh, memanggil anaknya dari kejauhan. Tapi anaknya memilih
bergabung dengan orang-orang yang ingkar. Anaknya yang bernama Kanaan menjawab,
“Ayah, aku akan mencari perlindungan ke gunung”. Maka dalam kesedihannya Nuh
menyeru bahwa pada hari ini tidak ada yang melindungi dari azab Allah kecuali
Allah swt itu sendiri. Tragis, Kanaan lalu terseret gelombang, hanyut oleh
banjir.
Ketika air mulai surut, bahtera nabi Nuh merapat di atas
Bukit Judi yang terletak di Armenia bagian selatan. Orang-orang zalim telah
binasa. Nuh duduk termenung di atas kapal dan menumpahkan perasaannya sambil
berkata, “Ya Allah, sungguh anakku adalah keluargaku, tetapi janjimu juga
benar. Aku percaya Engkau adalah hakim yang paling adil”. Allah menjawab: “Hai
Nuh, sungguh ia bukanlah keluargamu, karena perilakunya yang buruk…”.
Penceritaan pasca banjir Nabi Nuh tertuang dalam Al-Quran, Surat 11 ayat 45-49.
Itulah kisah
tragis yang melegenda dan ditayang ulang secara lengkap dalam Al-Quran.
Namun sesungguhnya bukan hanya episode Nuh, tetapi ada juga ekspose banjir kaum
Nabi Huud, dan banjir bandang di negeri Saba’.
Catatan pentingnya adalah bahwa peristiwa semacam ini menjadi
pelajaran bagi manusia di masa depan. Orang-orang zalim dan senantiasa
berperilaku buruk akan mendapat azab, sedangkan orang-orang yang bertakwa pasti
akan menuai hasil yang paling baik.
Dan pada akhir kisah Nuh, dalam firmannya - Allah
mengucapkan selamat kepada Nuh: “Hai Nuh, turunlah dari kapal dan Ku ucapkan
selamat atas keberhasilanmu melewatii musibah banjir, semoga peristiwa ini
menjadi pelajaran bagimu dan juga bagi ummatmu”.
Secara konvensional, banjir dalam kisah itu merupakan konsep
teologis bahwa banjir merupakan fenomena kemurkaan Allah. Allah menurunkan azab
berupa banjir sebagai ekspresi kemurkaanNya. Refleksi teologis demikian
didasarkan pada ayat prolog banjir, al-A’raaf:59-63, dan ayat epilog, al-A’raaf:
64: “Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang
yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata
hatinya)”.
Namun dalam konsep neo teologi, banjir bukanlah sekedar
musibah kemurkaan Allah kepada ummat manusia. Akan tetapi banjir juga bisa merupakan
fenomena ekologis yang disebabkan oleh perilaku manusia dalam mengelola
lingkungan, menentang sunnah lingkungan. Kerangka acuan teologisnya didasarkan
pada catatan ayat-ayat banjir dalam Al-Quran seperti surat Huud, ayat 101: “Dan
Kami tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka
sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka
sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, diwaktu azab Tuhanmu datang.
Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan
belaka”.
Di dalam surat al-A’raaf, ayat 64 dan 71, kata kuncinya:
“…Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami…”. Kata ayat-ayat
Kami bukan saja berarti ayat-ayat di dalam Al-Quran, tetapi lebih luas lagi
yakni meliputi ayat-ayat yang tidak tertulis, yaitu ayat-ayat yang terhampar di seluruh jagat raya. Karenanya, kalimat mendustakan ayat-ayat Kami dalam konteks kasus
banjir berpeluang dipahami sebagai sunnah lingkungan. Pola tafsir ekologisnya
dapat dilacak.
Dr. Mujiyono Abdillah, MA., dalam sebuah disertasinya
menggugat pola penafsiran yang memahami fenomena ekologi sebagai fenomena
teologi semata. Menurutnya, bencana alam harus dipahami sebagai dampak perilaku
manusia yang menentang sunnah lingkungan, bukan sebagai kutukan Tuhan. Wallahu a’lam.
Catatan penulis: “Jika tedapat kenaifan dalam artikel ini,
mohon diluruskan”.
0 comments:
Post a Comment