Di ujung tugu itu burung garuda tenggeng diterpa angin barat
Selat Malaka dengan kaki mendongak ke langit. Lempengan logam kaku yang
bisu. Tak berarti dan terasing. Selebihnya hanya pilar-pilar, juga vandalisme
remaja tanggung di pohon.
Dan dalam benakku, berderet pertanyaan. Apakah si pandai
besi yang mengukir logam mirip burung itu sepenuhnya mengerti maknanya. Apakah
si penggagas lambang negara itu dulunya benar dan tidak keliru dalam mewariskan
arti. Dan apakah ahli warisnya juga demikian. Bahkan burung itu tidak lengkap
anatominya, hanya satu mata dan satu telinga di kepala yang menoleh ke kanan,
tanpa bulu dada. Tidak jelas apakah ia jantan atau betina.
Tetapi peradaban terus bergerak menjauh dari titik nol,
meski tanpa perhatian kita. Mungkin juga tanpa arti. Tetapi selalu ada makna.
Seperti tertulis kontras di sebuah pos penjagaan tentara, tidak jauh dari tugu
kilometer nol itu: “Lusa Aku Mati”. Saya tidak mengerti apakah kalimat semacam
itu mengandung sesuatu yang penting. Setiap yang lewat hanya menoleh sebentar,
sebab jika berlama-lama berarti “cari ribut”.
Tidak mudah mendefinisikan apa yang tampak janggal secara
rasional. Sebab pasti ada sesuatu yang lain, yang bergerak cepat menelantarkan
simbol-simbol. Sebab ia telah lama membosankan. Sebab ia telah lama angkuh
terhadap yang hidup, tidak memberi harapan kecuali hayalan hampa. Sebelum
akhirnya tenggeng di kilometer nol.