Suatu pagi di bulan Maret tahun 2012, ratusan pekerja murah dari
pulau Jawa dan Sumatera Utara didatangkan ke lahan gambut Rawa Tripa, satu dari
tiga hutan rawa gambut kaya karbon di pantai barat Aceh. Selain Tripa, terdapat
pula Kluet dan Singkil. Tidak jauh dari Tanam Nasional Gunung Leuser. Api mulai
dinyalakan
di hutan, sementara puluhan bulldozer mulai merangsek jauh ke dalam rimba, menggali kanal-kanal raksasa.
di hutan, sementara puluhan bulldozer mulai merangsek jauh ke dalam rimba, menggali kanal-kanal raksasa.
Ini bukan permulaan sejak izin penggunaan lahan diberikan di
tahun 1995. Pembakaran lahan gambut Rawa Tripa oleh 5 perusahaan pemegang Hak
Guna Usaha yang beroperasi dengan luas lahan antara 3.000 hingga 13.000 hektar
telah menghancurkan 75 persen hutan gambut Rawa Tripa dari luas total sekitar
63.835 hektar. Pemandangan yang menakutkan dari kegiatan pembukaan hutan dengan
cara membakar, telah menewaskan berbagai spesies langka di sana. Informasi
release Tim Koalisi Penyelamat Rawa Tripa (TKPRT) pada saat itu menyebutkan
tidak kurang dari 100 Orangutan Sumatra (Pongo
abelii) tewas terpanggang setelah terjebak api di dalam hutan. Puluhan ekor
Harimau Sumatra (Panthera tigris
sumatrae) kehilangan habitat utamanya.
Laporan singkat ini ingin memberikan sebuah gambaran ringkas
dari tahun-tahun kelam keberadaan lahan gambut Rawa Tripa, di bagian barat Aceh,
sebuah provinsi di Indonesia yang pernah dilanda konflik bersenjata antara
gerilyawan pemberontak Aceh Merdeka dengan
pemerintah Indonesia, kini keduanya telah menempuh suatu upaya integrasi
politik lewat kesepakatan damai di Helsinki. Perang senjata telah berakhir,
pemerintahan sipil di provinsi ini kembali normal. Tetapi bagi rawa di sana,
perang ekologis segera dimulai.
Laporan-laporan masyarakat lokal dan yayasan yang bekerja
untuk lingkungan hidup di sana pada saat itu menyebutkan bahwa perusakan hutan
di lahan gambut Rawa Tripa secara massif dimulai pada tahun 2000-an. Perdamaian
Aceh dimanfaatkan perusahaan swasta untuk kembali membuka lahan di Rawa Tripa.
Padahal semasa perang, vegetasi di lahan gambut ini kembali tumbuh subur tanpa
campur tangan manusia. Perusahaan sawit
yang dikenal dengan kebrutalan dan pengabaian hak-hak adat kembali
diberi izin oleh pemerintahan provinsi dalam melakukan alih fungsi lahan gambut
untuk perkebunan sawit yang tidak ramah lingkungan.
Periode lima tahun terpilihnya Irwandi Yusuf dan Muhammad
Nazar sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur (2007-2012), adalah masa transisi dan
euforia bagi pembangunan Aceh pasca perang dan tsunami. Irwandi Yusuf telah
melakukan langkah strategis bagi penyelamatan hutan Aceh dengan memberlakukan
Instruksi Gubernur Nomor 5 tahun 2007 tentang jeda tebang untuk hutan alam, atau
lebih popular dengan istilah moratorium logging. Tetapi kemudian pada 25
Agustus 2011, Irwandi Yusuf atas nama Gubernur Aceh secara mengejutkan telah memberi
izin perambahan hutan di lahan gambut Rawa Tripa kepada PT Kalista Alam seluas
1.065 hektar untuk ditanami sawit.
Para pecinta lingkungan hidup pun meradang dan menggugat
penerbitan izin oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (sekarang sudah berakhir masa
jabatan) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Aceh. Tidak hanya masyarakat
lokal dan aktivis lingkungan hidup yang meminta dicabutnya surat izin itu, Menteri
Kehutanan Republik Indonesia, Zulkifli Hasan, bersama tim gabungan datang langsung ke Rawa Tripa dan meminta agar izin PT Kalista Alam segera dicabut,
memberi sanksi tegas kepada pelaku pembakaran hutan secara hukum. Menteri
Kehutanan juga melakukan pembicaraan khusus dengan Gubernur Aceh terpilih yang
baru, Zaini Abdullah, terkait rencana pencabutan izin tersebut. Pada saat itu,
para aktivis lingkungan hidup yang tergabung dalam Wahana Lingkungan Hidup
(Walhi) kalah, PTUN Aceh memutuskan tiga
hal, yaitu PTUN Banda Aceh tidak berwenang memeriksa perkara gugatan Walhi
Aceh, menolak gugatan dari penggugat, dan meminta penggugat membayar biaya perkara.
Usaha menggugat secara hukum terus dilakukan oleh para
pecinta lingkungan hingga ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan.
PTTUN Medan mengabulkan banding Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terkait dengan
pencabutan izin usaha budidaya PT Kalista Alam di Rawa Tripa, dengan amar
putusan: Mengabulkan gugatan
Penggugat/Pembanding (WALHI), menyatakan batal keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan yang dikeluarkan oleh Gubernur Aceh, tanggal 25 Agustus 2011, No.
525/BP2T/5322/2011, tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT Kalista
Alam, memerintahkan kepada Tergugat I/Terbanding I (Gubernur Aceh), untuk
mencabut keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan yang dikeluarkan oleh
Gubernur Aceh, tanggal 25 Agustus 2011, No. 525/BP2T/5322/2011, tentang Izin
Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT Kalista Alam, dan menghukum Tergugat
I/Terbanding I dan Tergugat II Intervensi/Terbanding II Intervensi (PT Kalista
Alam) secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara pada dua tingkat pengadilan,
yang pada tingkat banding ditetapkan sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima
puluh ribu rupiah).
Kamis itu, dari dalam pendopo, 27 September 2012, Pemerintah
Aceh akhirnya mencabut izin usaha perkebunan budidaya PT Kalista Alam seluas
1.605 hektar di Rawa Tripa sebagai tindak lanjut atas putusan Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan. Putusan Gubernur Aceh mengenai pencabutan
surat izin Gubernur Aceh Nomor 525/BP2T/5322/2011 tersebut tertuang dalam
Keputusan Gubernur Aceh Nomor 525/BP2T/5078/2012 tertanggal 27 September 2012.
Sementara di lapangan, sejumlah titik api dan asap tebal
terus mengepul ke udara. Proses pembukaan
dan pembakaran hutan di lahan gambut itu terus berlanjut meskipun surat Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT Kalista
Alam telah dicabut pemerintah. Pihak perusahaan tidak menggubris dan terus melakukan
pelanggaran hukum di lahan yang telah dilindungi undang-undang. Empat
perusahaan swasta lain yang izinnya masih diragukan juga masih terus melakukan
pembakaran di lahan gambut Rawa Tripa. Ada dugaan dan kecurigaan yang meluas
dikalangan banyak orang bahwa kelima perusahaan itu mempunyai hubungan yang
erat.
Sepanjang tahun
2012, sekitar 2.145 hektar hutan lahan gambut di Rawa Tripa lenyap menjadi
arang. Rawa Tripa juga menjadi ladang pembantaian massal bagi species Orangutan
Sumatra (Pongo abelii). Batok
kepala primata itu bisa ditemukan dengan mudah di bawah pepohonan yang hangus
terbakar.
Ratusan kanal yang
dibuat perkebunan kelapa sawit telah mengeringkan air di lahan gambut. Berbagai
species ikan yang dulunya menjadi sumber nutrisi bagi masyarakat lokal juga
kehilangan tempat berbiak dan lenyap seketika. Laporan-laporan lokal
menyebutkan antara 80 hingga 100 persen satwa jenis reptil, mamalia dan
burung tidak dapat bertahan hidup dalam lingkungan itu. Beberapa ekor Harimau
Sumatra (Panthera tigris sumatrae)
yang selamat dari kurungan api, kembali terjebak di perkampungan terdekat. Lebah-lebah
madu telah pergi, tumbuhan-tumbuhan obat telah punah. Semua jasa ekologis ini
hilang, seiring hilangnya hutan.
Ada ongkos sosial yang tidak pernah dihitung, yaitu munculnya
ketimpangan dalam lingkungan tersebut sebagai akibat ketiadaan ruang bagi setiap
warga lokal (perebutan terhadap lahan yang tersisa untuk mencari nafkah).
Tumbuhnya ketimpangan memiliki hubungan kausalitas yang erat dengan krisis
sumber daya alam di sana. Proses ini dapat dengan jelas diamati, seperti
diceritakan seorang warga bernama Suratman dalam sebuah reportase yang
dilakukan seorang peneliti muda, Rizki Affiat. Dalam laporan itu, Suratman
menuturkan: “Tanpa pemberitahuan ganti rugi, pihak perusahaan telah mengirimkan
alat berat dan menyerobot lahan kami yang sebenarnya di luar Hak Guna Usaha
(HGU). Saya marah dan menebang tiga batang kelapa sawit milik perusahaan di
lahan saya sendiri. Penjaga keamanan dari perusahaan itu datang ke rumah saya
pada malam hari dan menodongkan senjata”.
Informasi yang
bersumber dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menunjukkan luas tutupan hutan
di lahan gambut Rawa Tripa pada tahun 2011 lalu masih sekitar 12.666 hektar.
Tetapi pada tahun 2012, luasnya hanya tersisa 10.521 hektar saja. Penyusutan
luas tutupan hutan terus berlanjut dan memberi sumbangan yang lebih besar
terhadap pemanasan global di tahun-tahun berikutnya.
Kesimpulan
Ekspansi perusahaan kelapa sawit merupakan
suatu pemaksaan solusi ekonomi dalam penyelesaian masalah pengangguran dan
kemiskinan di Aceh, dan tidak dapat dimengerti sepenuhnya dengan logika apapun.
Selebihnya, ide mengantarkan rakyat ke gerbang kemakmuran menyebabkan
pemerintahan Aceh lebih mudah dipengaruhi oleh alasan-alasan yang diberikan
para investor perkebunan besar kelapa sawit bahwa pembangunan daerah
membutuhkan mereka sebagai “solusi akhir” jika target pembangunan ingin dicapai.
Kenyataannya, selama bertahun-tahun perkebunan besar kelapa sawit justru
memberikan dampak yang mengerikan terhadap keanekaragaman hayati di lahan-lahan
gambut itu.
Dan bagi
masyarakat lokal di sana, perkebunan besar kelapa sawit tidak memberikan nilai
tambah apapun, baik dari sisi ekonomi maupun dari sisi ekologi. Tetapi sebuah
kehancuran yang sistematis terhadap perekonomian lokal dan sosial budaya
setempat. Mitos dan propaganda liberalisasi memaksa hak pengelolaan sumber daya
alam lokal untuk digarap oleh aktor perekonomian asing, menjadi sasaran
penekanan pasar bagi produsen asing untuk menggali keuntungan demi akumulasi
kapital mereka sendiri.
Kami mengalami nasib yg sama di gunung muda, belinyu, bangka. PT Gunung Pelawan Lestari terus membabat hutan kami, mohon kiranya bisa memberi masukan apa saja yg hrs kami lakukan, perang fisik/terbuka adalah pilihan terakhir masyarakat gunung muda, dan kami akan lakukan itu.
ReplyDeletePerlawanan terhadap kesewenangwenangan perlu diupayakan dengan cara-cara cerdas dan bijaksana, sebab bila tak berhati-hati justru akan terjerumus ke dalam tragedi.
DeleteSalam visioner dari saya di Aceh. dan selamat berjuang mempertahankan hak dari jaring kapital imperium modern.