Di halaman pendopo itu, seorang petinggi parlok dibal-bal
oleh sejumlah orang. Tapi tidak mampus. Juga bukan oleh gerombolan asing. Menceritakan
sebab musabab dan awal mula kejadian, sangat tidak mengenakkan. Apalagi
menyebutkan nama si korban dan para pelaku. Betapa berubahnya Aceh, atau
jangan-jangan martabat memang telah berakhir di sini.
Transformasi Aceh berlangsung di bawah Demokrasi liar dan
picisan. Mereka ubah tempat ziarah menjadi mesin. Situs kerajaan lamuri ingin
disulap menjadi lapangan golf. Persetan tentang identitas, apalagi peninggalan
sejarah. Hutan juga mereka renggut, begitu juga gunung dan sungai-sungai.
Bagi mereka, hitung-hitungan sempoa kapitalisme sangat
mendesak. Aceh harus siap. Tapi justru disitulah masalahnya. Hutan primer akan dibuldoser
lewat kebijakan tata ruang feodal sekaligus kapital. Tapi bisakah perkara ini
dicegah? Lewat rencana tata ruang yang segera ingin dirayakan itu, belantara hutan
akan meleleh seperti ransum yang lezat, untuk dituang ke dalam tembolok dari
kaum yang itu-itu juga.
Mengherankan, hutan yang dahulu menjadi tempat para
gerilyawan gerakan kemerdekaan membangun basis persembunyian dan perlawanan,
bahkan pendeklarasian maha penting dalam sebuah perjuangan Aceh melawan tirani
masa lalu, kini ingin dihancurkan. Oleh diri-sendiri. Mereka lupa dan melupakan
diri bahwa sisa-sisa kepedihan di masa lalu harusnya menjadi “bangunan sejarah”
yang terus hidup, bukan malah diserakkan oleh kepentingan politik rakus dan picisan.
Tertutup hedonisme. Warisan indatu (nenek moyang) tak lagi bisa dibaca
oleh generasi di masa depan.
Bukan saya mencurigai modernitas yang hendak dibangun, Tapi
pada saat yang sama telah terjadi penindasan terhadap identitas, martabat, juga akal sehat dengan cara-cara
yang terlalu picik untuk ditiru, tapi
selalu ditiru.
0 komentar:
Posting Komentar