Seorang pejabat kabupaten di Aceh berceramah tentang
kemiskinan di daerahnya, para hadirin yang hadir pun sempat menangis saat
mendengar. Menurut pejabat itu, masyarakat di daerahnya masih banyak yang
miskin karena tidak mempunyai infrastruktur jalan yang lebar.
Pejabat itu juga mengatakan bahwa masyarakat di kotamadya dan provinsi bisa kaya karena di sana telah dibangun jalan yang lebar-lebar dan bagus-bagus. Karenanya Pemerintah Aceh berencana membangun 11 ruas jalan melintasi hutan lintas tengah di provinsi Aceh dengan anggaran senilai Rp 1,1 triliun, untuk total jalur sepanjang 316,8 kilometer.
Pejabat itu juga mengatakan bahwa masyarakat di kotamadya dan provinsi bisa kaya karena di sana telah dibangun jalan yang lebar-lebar dan bagus-bagus. Karenanya Pemerintah Aceh berencana membangun 11 ruas jalan melintasi hutan lintas tengah di provinsi Aceh dengan anggaran senilai Rp 1,1 triliun, untuk total jalur sepanjang 316,8 kilometer.
Saya hampir kencing berdiri mendengar ceramah semacam itu. Pejabat
itu sebenarnya telah jatuh pada “scapegoat to
blame”- menyalahkan kambing hitam. Padahal masyarakat di daerah-daerah itu
menjadi miskin justru karena hampir semua daerah di kabupaten di Aceh di
perintah oleh tirani, lewat kolong gelap birokrasi feodal, monopolistik,
kokoh dalam mempertahankankan dan mengendalikan kepentingan sekelompok orang.
Tepatnya, sumber-sumber kekayaan di hampir semua daerah dikontrol oleh
segelintir orang saja.
Tanah-tanah juga banyak yang dikuasai pemodal.
Kebanyakan masyarakat di sana menjadi buruh dari pensiunan pejabat yang kaya.
Sebagian rakyat lainnya terjebak hutang atau kredit ketika ingin membuka usaha
sendiri.
Seorang Jawa bernama Siswanto, berusia 50 tahun bisa sukses
menjadi petani apel di Gayo, tanpa harus menunggu dibuatkan jalan yang lebar terlebih
dahulu untuk berhasil dalam usahanya. Orang-orang asal Pidie juga banyak yang
sukses membangun usaha di daerah yang lebih terpencil. Sebaliknya, banyak juga
orang yang menjadi miskin justru di kota-kota yang infrastruktur jalannya
bagus-bagus. Mengapa?
Orang menjadi miskin di Lokop, Gayo Lues, Pinding,
Blangkejeren, Bener Meriah, Samar Kilang dan daerah lainnya itu bukan karena
jalan yang sempit. Orang yang miskin di Banda Aceh, Lhokseumawe dan kota-kota
lainnya juga bukan karena jalan yang lebar. Mengapa?
Selama ini birokrasi bukanlah suatu tempat yang sehat. Akal
sehat tidak tumbuh di sini. Ada antrian panjang administrasi yang dipromosikan gratis oleh pemerintah, namun nyatanya tetap
harus bayar jika ingin selesai dengan cara cepat. Perizinan usaha harus melalui
meja-meja aparatur yang licik. Berbelit, dan mahal. Mengapa?
Saya rasa, sistem sosial kitalah yang tidak memberi peluang
bagi kemajuan orang-orang miskin di sana. Persoalan mendasar adalah sikap feodalistis yang mengakar.
Bukan infrastruktur jalan. Bukan 11 jaring nihil yang dibangga-banggakan itu.
0 komentar:
Posting Komentar