Pasar
besar atau pasar modern, apa pun namanya yang menyerupai sebuah sangkar beton dengan
suhu yang diatur tempat beranak-pinaknya konsumerisme dan gaya hidup serba
instan dari masyarakat maju telah menjangkiti Jamilah. Bagai virus budaya
konsumtif yang terus mengakar kuat dalam dirinya. Bahkan seringkali mereka
membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Seperti mantra.
Dan ketika itu di Aceh, ruang publik dengan segenap kepentingan ekonomi telah menjadi
tempat menatap sekaligus ditatap. Dengan gaya pakaian, gaya berjalan dan gaya
hidup yang menjadi ciri masing-masing masyarakat yang sedang gadung dengan perayaan, jauh dari konseptual. Ruang publik bukan lagi
dianggap sebagai arena pembentukan keadaban publik, tetapi sekadar ranah
komersial.
Para
penanggungjawab pengelola kota ini sering terjatuh dalam pengingkaran makna
ruang publik yang sesungguhnya, menyingkirkan sifat dasar manusia sebagai
makhluk sosial itu sendiri, menjadi makhluk yang egosentris, hedonis,
pragmatis, dan didominasi oleh pikiran kapital. Di sini boros itu benar,
kemubaziran membawa hasil dan menandai gerak maju manusia.
Dimanakah
tempat bagi pasar tradisional? Ia berada dalam ketidakpastian di tengah invasi
pasar modern. Bahkan di lorong-lorong yang sempit, lapak-lapak dan gerobak siap
diterkam, dihimpit pasar modern. Alasannya sederhana, kenyamanan dan
kebersihan.
Kebutuhan
masyarakat dengan gaya hidup modern sangat mempengaruhi pertumbuhan mall dengan
citra modern ketimbang pasar tradisional yang terkesan kumuh, becek dan tidak
higienis. Namun ada hal lain yang lebih kuat yang bertanggungjawab merumuskan
bentuk kota ini, yaitu kebijakan Pemerintah Daerah.
Secara
teoritik, sistem ekonomi kita memang semakin liberal yang ditandai dengan
deregulasi, privatisasi dan liberalisasi. Melalui penanaman modal yang semakin
besar maka katanya peluang lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan juga peluang usaha menjadi semakin besar. Akan tetapi melalui deregulasi
tersebut justru yang terjadi adalah semakin besarnya intervensi perusahaan yang
dapat mendesak usaha ekonomi rakyat lapisan bawah.
Mungkin Tuan lupa bahwa ada nilai-nilai lain dalam
pasar tradisional yang tidak akan ditemukan di pasar modern, yaitu kerekatan
sosial. Terjadi proses saling menyapa walaupun hanya sesaat. Tidak seperti mall
yang mendorong sikap individualistik.
Akhirnya,
kota tanpa tempat bagi pasar tradisional akan menjadi kota tanpa nurani. Hanya
ada jalan raya dan mall. Bagaikan perempuan dengan wangi buatan.