Memasuki tahun 2013, izinkan saya menulis refleksi ini. Hari itu, di
pertengahan tahun 2012 yang mendung tapi panas, ‘El’ seperti biasanya berjalan menyusuri home range yang sejak ratusan tahun yang lalu telah dirintis oleh
buyut moyangnya. 'El' berusia 18 tahun
dan sedang menyusui.
Di siang yang tragis, ‘El’ merenggang nyawa karena diracun, mulutnya berbusa di ladang sawit. Badannya biru lembam, kesakitan dan meraung sejadi-jadinya, lalu rubuh dan mati. Dari anusnya keluar usus dan darah. Anaknya raib bersama jejak para penjagal.
Di siang yang tragis, ‘El’ merenggang nyawa karena diracun, mulutnya berbusa di ladang sawit. Badannya biru lembam, kesakitan dan meraung sejadi-jadinya, lalu rubuh dan mati. Dari anusnya keluar usus dan darah. Anaknya raib bersama jejak para penjagal.
Beberapa
hari kemudian ‘El’ ditemukan dan
diberitakan secara luas oleh pencinta lingkungan hidup. Sudah nasib, ‘El’ tanpa sengaja memakan racun di areal
perkebunan sawit di Gampong Krueng Ayon, Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya.
Bagi saya,
ini adalah pembantaian. Manusia-manusia kapital menjadi jahat dan kehilangan
nilai-nilai. Tega menembak dan meracuni. Mungkin setelah itu para penjagal
pergi ke rumah ibadah dan berdoa pada Tuhan agar kebunnya berbuah banyak. Saat waktu
yang sama, gajah sekarat yang mereka racuni juga mengadu pada Tuhan yang sama.Tapi
bisakah kita mengerti?
Dan dari apakah isi kepala para pembantai itu terbuat? Saya tak tahu persis, apakah ini sebuah kecendrungan sosial. Ternyata tak mudah memahami kapitalisme.
|Afrizal Akmal, 2012|.
Di
kecamatan Indra Makmu, Aceh Timur, ‘Max’
diracun, diburu, ditembaki dan disiksa tanpa ampun. Pada hari jum’at Desember
2012, ‘Max’ ditemukan mati dengan bekas
gading tercongkel secara paksa. Jasatnya ditemukan mati dipinggir hutan tak
jauh dari ladang sawit. Kali ini korban berjenis kelamin jantan.
Selanjutnya ‘Su’ ditemukan
mati di Desa Sungai Tapa, Kecamaam Ukui,
Kabupaten Pelalawan. Di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau. Juga karena
diracun. Kematian ‘Su’ masih terkait penemuan lima gajah yang mati
pada Maret hingga pertengahan Mei. Awalnya, bulan Maret 2012 ditemukan bangkai
tiga gajah di Desa Pangkalan Gondai. Meski lokasi kematian gajah di luar TNTN,
semua pada koridor lintasan gajah TNTN. Kematian tiga gajah itu akibat racun. Awal
April, seekor gajah mati sekitar satu kilometer dari Desa Sungai Tapa. Pertengahan
Mei 2012, seekor gajah mati lagi di koridor kawasan hutan di tepi TNTN.
Gajah Sumatra. Elephas maximus
sumatranus,
populasinya menurun drastis dalam kurun waktu empat tahun terakhir.
Lembaga Konservasi Dunia (IUCN) menaikkan status keterancaman Gajah Sumatra
dari genting menjadi kritis, hanya selangkah dari status punah di alam. Berkurangnya populasi gajah di Sumatera
terjadi seiring dengan meningkatnya kerusakan hutan dan alih fungsi lahan hutan
dalam beberapa tahun terakhir.
Pada saat yang sama, tata ruang wilayah hutan
tak pernah jelas juntrungannya. Banyak lahan hutan yang harusnya menjadi lahan
konservasi justru digadaikan sebagai hutan produksi atau perkebunan. Akibatnya,
banyak perkebunan yang masuk dalam jalur jelajah
(home range) gajah. Orang-orang hebat memberi stigma “konflik satwa dengan
warga”. Gajah-gajah menjadi tertuduh sebagai perusak tanaman perkebunan dan
pertanian. Karenanya harus dibunuh, tak peduli dengan cara yang keji.
Dan dari apakah isi kepala para pembantai itu terbuat? Saya tak tahu persis, apakah ini sebuah kecendrungan sosial. Ternyata tak mudah memahami kapitalisme.
|Afrizal Akmal, 2012|.
0 comments:
Post a Comment