Hampir pada setiap
sore hari di tahun 1980. Saya dan teman-teman kecil bermain berjalan mendaki
bukit dari pintu belakang rumah. Di daerah yang jauh dari hiruk mesin, tempat ibu
saya ditugaskan pertama kali untuk mengajar anak-anak di sebuah Sekolah Dasar berdinding
kayu, berjendela kawat. Satu jam perjalanan dari
ibukota Kabupaten Pidie.
ibukota Kabupaten Pidie.
Kami tinggal
di sana untuk beberapa tahun. Di lereng-lereng jalan yang kami lalui, tidak ada
sampah. Kadangkala terdengar orang menebang kayu menggunakan gergaji besar yang
ditarik dengan tangan oleh dua orang, berirama mengayun ke bekalang dan ke depan.
Suara gergaji tangan tak mengusik kesunyian hutan atau mengusir rombongan
burung yang hinggap di ranting. Arah manapun yang kita pandang, hanya ada
keindahan yang subur, dunia tersendiri dan liar.
Sekarang setelah
kita mengubah kebiasaan-kebiasaan kita, mengubah ekonomi dan gaya hidup kita,
alam menjadi tong sampah raksasa. Kebisingan dianggap peradaban. Suara gergaji mesin telah menggeser eksistensi dan
kearifan, bahkan di tempat dimana undang-undang pelarangan penebangan hutan
alam diberlakukan, suara chainsaw terdengar meraung.
Di zaman millenium
baru ini kita telah memproduksi karbon dioksida. Demi mengejar pertumbuhan
ekonomi yang lebih baik menurut anggapan kita, lalu secara tidak langsung kita
telah mengubah pola-pola kelembaban dan kekeringan dan menciptakan
bencana-bencana, akan tetapi selalu lambat untuk mencegahnya. Angin, matahari
dan hujan secara perlahan telah berubah maknanya. Angin tetap bertiup, tetapi
bukan sepoi yang indah dan damai. Matahari tetap bersinar, tetapi panasnya
semakin menyengat ubun-ubun. Dan hujan tetap turun, tetapi bukan lagi guyur
yang sekedar menyentuh tanah dan daun.
Hutan dan
sungai telah berubah sebagaimana planet ini yang juga sudah jauh berubah. Ikan-ikan
beradaptasi bermain di air got yang kotor. Tepian jalan hutan sudah dipenuhi kera
yang mengemis dan mabuk oleh minuman Coca Cola dari kaleng sisa yang dilempar
dari jendela mobil. Ini jauh berbeda dari apa yang saya saksikan ketika kecil
dulu. Lembah-lembah kecil yang indah, dan bahkan jauh lebih cantik daripada apa
yang dibayangkan oleh manusia dewasa.
Dan bagi
satwa yang dulu ramah, kini ganas dan berang. Kematian mereka menjadi mudah dan
sederhana. Padang yang dikelilingi pohon cemara dulu seperti dilukis dan
memberi perlindungan pada pohon-pohon lain yang toleran. Teduh ranting dan
daunnya menemani burung hantu yang tidur kelelahan. Kini gambaran demikian
menjadi semakin langka.
Kesunyian
yang indah di belakang rumah kami 32 tahun yang lalu, kini bukan lagi hutan
belantara. Kapitalisme telah menguasai sungainya. Senyawa sintetis dari
pestisida buatan merayap perlahan ke dalam tatanan kehidupan ummat manusia. Di
kotak cembung saya hanya mampu memandangi gambar seorang Gubernur sedang
menerima penghargaan Menteri atas “disahkannya” rancangan pengelolaan daerah
aliran sungai terpadu di Nanggroe.
Peradaban begitu memukau, tetapi juga tuli, bahkan saat
kebenaran sebuah karya belum terbukti. Namun nyatanya kita juga tidak boleh menyepelekannya.
0 komentar:
Posting Komentar