Simpang Kisaran Meulaboh terbelalak oleh Fajri, ia
menggelar aksi sendirian, membela sekian ratus orang yang terancam mata
pencarian akibat sengketa lahan dengan perusahaan. Ia berontak dan tidak
membisu. Dengan berpakaian hitam, Fajri tidur di jalan dan berorasi.
Apa yang hebat? Apa yang remeh?
Satu pendemo dari ribuan orang lain yang berlalu lalang di persimpangan itu
adalah soal remeh. Ya, sekian ratus orang yang kehilangan tanah dan mata
pencaharian di negeri ini kini telah dianggap sebagai soal remeh. Lagi pula, pada
saat seorang Fajri berdemo, beberapa pengusaha licik mungkin baru saja
merayakan kemenangan tender di sudut kota yang lain.
“Saya rela mati demi memperjuangkan hak masyarakat Aceh Jaya,” teriak Fajri. Ada
rasa marah karena sebuah hak direbut. Ada protes sekaligus pesan sosial. Dengan
kata lain, ada sebuah perkara tidak remeh sedang berlagsung, yang ingin
disampaikan oleh seorang yang dianggap remeh.
Fajri adalah orang kecil yang
memprotes dengan keyakinan tipis bahwa protes itu akan didengar, dan karena itu
teriaknya mungkin saja diabaikan. Ia sadar bahwa keluhan rakyat yang dibelanya
tertimbun oleh mesin kapital dan kekuasaan besar, karenanya Ia harus berteriak
sekuat-kuatnya.
Dan perusahaan bernama PT Boswa
Megalopolis, menganggap remeh sengketa lahan dengan warga di Gampong Bunta, Kecamatan
Krueng Sabee, Aceh Jaya. Walau pun serombongan warga marah dan mengobrak-abrik
areal pembibitan perusahaan itu, Boswa tahu betul - pada akhirnya orang-orang Gampong ini akan
kalah.
Orang-orang Gampong sudah terlanjur diremehkan dan memang pada
kenyataannya terlalu sering tersingkir. Namun pesan sosial lewat aksi yang
mereka lakukan memberi pelajaran berbeda bahwa hidup boleh saja ditamatkan, tetapi
tidak boleh membisu sebelum mati, sebelum semuanya benar-benar tersingkir.
0 komentar:
Posting Komentar