Di kebun sawit itu, Andira berjudi dengan masa depan. Sejumlah petani sawit
di Kabupaten Nagan Raya bernasib sama. sejak dua pekan terakhir mereka mengeluh
dengan merosotnya harga jual tandan buah segar (TBS) sawit milik mereka yang
dibeli Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di daerah itu.
Harga TBS saat ini berkisar 650 rupiah hingga 950 rupiah per kilogram. Padahal, sebelumnya harga sawit berkisar 1.250 rupiah hingga 1.300 rupiah per kilogram.
Harga TBS saat ini berkisar 650 rupiah hingga 950 rupiah per kilogram. Padahal, sebelumnya harga sawit berkisar 1.250 rupiah hingga 1.300 rupiah per kilogram.
Di Langkak Kuala Pesisir, Zainun naik darah, pasalnya truk sawit harus
mengantre hingga dua hari untuk bisa menjual hasil panen kepada PKS, sehingga
menyebabkan sebagain sawit membusuk. Dalam situasi ini, antagonisme berlangsung.
Bukan hanya truk yang macet, ekonomi juga macet akibat dari perilaku pasar yang
tak bisa dijadikan tauladan.
Tentang sawit, apakah yang sebenarnya kita ketahui? Seperti mantra yang
selalu diungkapkan, membuat orang terkesima atau bersemangat ketika kelapa
sawit dipromosikan sebagai penunjang ekonomi masyarakat. Sebagai mantra, ia
memiliki efek yang kuat, tapi tak punya arti yang jelas, hilang tuahnya ketika
diurai maknanya. Sawit bagi Andira, Zainun dan sejumlah petani di Nagan raya
itu akan menjadi sebuah problem.
Saya ingat Profesor. Maman Sutisna, guru besar silvikultur, pernah
mengutarakan bahwa dengan mengalihkan lahan untuk perkebunan kelapa sawit tidak
memberikan nilai tambah apapun, baik dari sisi ekonomi maupun dari sisi ekologi.
Masih terdapat komoditi pertanian lainnya yang bisa memberikan nilai ekonomi
yang lebih baik, semisal budidaya kemiri maupun jambu mete.
Saya kira kita bisa menyimpulkan apa yang dikemukakan Profesor itu: Kesejahteraan
petani kelapa sawit dipengaruhi oleh luas lahan, hasil produksi dan harga
kelapa sawit. Keterbatasan lahan yang dimiliki, pengelolaan kebun yang tidak
optimal, dan penentuan harga sepihak yang tidak menguntungkan petani, merupakan
faktor penting dalam mempengaruhi kesejahteraan petani. Akibatnya petani tetap
hidup miskin, terjerat hutang atau terjebak dalam permainan pemodal.
Sawit menjadi ironi, terkadang dengan penyesalan. Pada gilirannya, sawit menjadi
bagian dari sebuah mitologi, atau setidaknya bagian dari mantra. Dan pada kebanyakan
sistem pembangunan kebun sawit rakyat, ternyata juga diikuti dengan skema
kredit dengan bunga komersil dan jangka panjang. Sebuah problem baru dan beban
ekonomi baru bagi masyarakat.
Pupuk gratis, bibit gratis, pestisida gratis kepada masyarakat, sesungguhnya
bukannya tanpa bayar, namun menjadi sebuah paket kredit yang telah dihitung.
Sehingga dalam perhitungan ekonomi kebun sawit, komponen tenaga kerja menjadi
dihilangkan untuk menunjukkan nilai keuntungan yang seolah-olah sangat menguntungkan
bagi petani.
Dari sisi ekonomi lingkungan, akibat pembukaan perkebunan besar kelapa
sawit, sesungguhnya kita akan kehilangan triliun rupiah dari kerugian ekologi
setiap tahunnya. Nilai yang tidak sebanding dengan nilai yang akan diperoleh dari
pembangunan perkebunan kelapa sawit.
Jika kita bisa belajar, mungkin dari sekarang sebaiknya kita selalu bisa
bertanya: tentang sawit, apa sebenarnya yang kita tahu?
0 komentar:
Posting Komentar