Hari-hari di Nanggroe tampaknya masih dirasuki teka-teki. Berbicara jernih
dan jujur masih dibayangi perasaan antara takut dan tidak. Tetapi tidak selalu
mudah untuk selalu bersikap diam, sebab pada setiap masa akan ada kata-kata yang
diberi harga atau diacuhkan. Setidaknya kita masih dapat berbicara dengan diri
sendiri.
Saya jadi teringat dengan Machiavelli, sebuah nama yang dianggap kotor, namun sulit dielakkan. Nama itu selalu dikaitkan dengan kalimat “tujuan menghalalkan cara”. Bahkan pada saat seseorang meminta orang lain untuk diam, sesungguhnya itu adalah tindakan yang memerlukan penghalalan dan pembenaran atas tindakan itu dari orang lain.
Saya jadi teringat dengan Machiavelli, sebuah nama yang dianggap kotor, namun sulit dielakkan. Nama itu selalu dikaitkan dengan kalimat “tujuan menghalalkan cara”. Bahkan pada saat seseorang meminta orang lain untuk diam, sesungguhnya itu adalah tindakan yang memerlukan penghalalan dan pembenaran atas tindakan itu dari orang lain.
Dalam ranah kekuasaan, politik adalah puzzle kekuasaan yang membutuhkan
segudang kata untuk memobilisasi massa demi tujuan-tujuan politik. Dengan
demikian kata-kata menjadi penghubung dan pembentuk solidaritas antara massa
rakyat dengan pemimpin-pemimpin politik. Namun kata yang paling esensial adalah yang berasal dari realitas, sebab
manusia bukan Tuhan yang tidak memerlukan proses “menjadi”. Disinilah orang
lain dibutuhkan secara bebas merdeka untuk proses-proses dialektikal yang
kreatif. Tanpa itu, maka kata-kata hanya kebohongan, tidak hidup, kaku dan
kehilangan solidaritas.
Sebuah rezim bagaimana pun otoriternya, ia akan selalu membutuhkan orang
lain yang bebas. Rezim membutuhkan rakyat untuk hadir dan tidak mungkin
berkuasa hanya untuk sebuah onggokan istana yang bisu. Ada kenyataan yang harus
dihadapi, dan sebuah rezim sesungguhnya harus membuka diri. Dan jauh sejak
Nanggroe ini didirikan, ia tidak selalu mengandung ketertiban, melainkan
kesemrautan yang dikelola agar menjadi rapi, aman, damai dan makmur.
”… jangan berpikir bahwa kita secara
mutlak bergantung kepada suatu dunia, karena kita sebetulnya perlu kedamaian
dalam diri kita-sendiri dan dalam hubungan kita dengan yang lain. Dunia
mengakui kekerasan, tetapi di saat peradaban kita nampak lemah untuk
mengamankan diri kita; ketika itu pula kita nampak kehilangan harapan.” (Maclntyre. The Peaceable Kingdom. Brenda
Almond, The Sources of Public Morality – on The Ethics and Religion Debate,
dalam Yusra Habib Abdul Gani, Merangkai
Kearifan Aceh, 2012).
Sebagai rakyat, terkadang saya menjadi lesu. Pasalnya rakyat di Nanggroe
nampaknya sedang kehilangan semangat solidaritas dan kearifan itu. Mestinya, konstruksi
sosial-politik yang hadir bukan saja harus diterima sebagai suatu konsensus,
tetapi ikhlas menerima perbedaan-perbedaan, termasuk konflik sekalipun.
0 comments:
Post a Comment