Hari-hari di Nanggroe tampaknya masih dirasuki teka-teki. Berbicara jernih
dan jujur masih dibayangi perasaan antara takut dan tidak. Tetapi tidak selalu
mudah untuk selalu bersikap diam, sebab pada setiap masa akan ada kata-kata yang
diberi harga atau diacuhkan. Setidaknya kita masih dapat berbicara dengan diri
sendiri.
Sawit, Mitos Kesejahteraan
11.44
No comments
Di kebun sawit itu, Andira berjudi dengan masa depan. Sejumlah petani sawit
di Kabupaten Nagan Raya bernasib sama. sejak dua pekan terakhir mereka mengeluh
dengan merosotnya harga jual tandan buah segar (TBS) sawit milik mereka yang
dibeli Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di daerah itu.
Nek Ti
22.00
No comments
Di pinggir empang itu, dalam sebuah
perjalanan saya menemukan Nek Ti. Siang itu panas, matahari tegak lurus. Awan
putih tak bergerak, cahaya menembus atap rumah yang terbelah karena lapuk. Ia
sebatang kara. Rumah gubuk yang ditempatinya didirikan di
atas tanah warga Gampong yang berbaik hati, berlantai batu bata retak, dari
sisa-sisa.
Nek Ti, perempuan tua dengan raut
wajah menyimpan duka, berkulit sawo, memakai kaos dan sarung batik yang lusuh. Kesehariannya
ia menjahit beberapa helai atap rumbia, merapikan letak batu bata di dapur
pembuatan batu bata milik tetangganya. Dari pekerjaannya itu ia dapat makan.
Siang itu, saya lihat matanya berkaca dan duduk termangu memandang
tamu yang tak biasanya. Ia mempersilahkan saya duduk di beranda. Entah kenapa
ia bercerita tentang dua anak lelakinya yang ditembak mati sekaligus oleh serdadu
di era DOM Aceh. Sebagai tamu, kepada perempuan tua ini saya
mencoba untuk mendengar dengan hikmat.
Di gubuk ini ada yang tak bisa
dijelaskan dengan kata. Keadilan tak pernah singgah disini, penderitaan tak
sanggup dijelaskan saat bibir si renta bergetar ketika ia memanggil-manggil roh
anak-anaknya. Sampai detik ini, ia meyakini anaknya bukan anggota GAM seperti
yang dituduhkan. Suasana kembali hening.
Bagi Nek Ti, sejarah adalah jejak
yang seram. Negeri ini kosong keadilan, terkecoh oleh damai yang di-stigma-kan.
Sebuah konflik yang sudah dianggap berakhir oleh orang-orang di atas sana.
Tetapi di sini masih berlangsung trauma dan hantu-hantu kebegisan serdadu masa
silam.
Trauma Nek Ti adalah produk yang
dibangun dari kesepakatan damai yang tidak utuh di antara dua pihak yang
berperang, ada yang belum selesai. Dalam lingkaran itu, Nek Ti terkurung dan
tidak menemukan kemenangan, apalagi kebenaran dan keadilan. Hantu-hantu serdadu
akan selalu terasa hadir saat ia teringat peristiwa tragis dua anaknya.
Bagi yg pernah bertikai, kesia-siaan
belum pernah diakui. Otonomi yang diagung-agungkan itu ternyata bukan atas
tanah, melainkan atas partai. Nek Ti tertipu dan tragis, sebab tanpa
persetujuannya pun Nanggroe telah digadaikan kepada berhala yang pernah dia
benci.
Dan dalam setiap pemilu lokal,
kekuasaan partai itu hampir menyerupai agama yang tidak boleh tidak diikuti.
Kekerasan, pemujaaan dan fanatisme belum bisa ditamatkan. Di sini, perang
diganti oleh kebengisan lain. Di rumah gubuk reot ini, seorang renta memanjatkan doa-doa sederhana.
Oto-Kritik Rimbawan Indonesia
13.07
No comments
Rimbawan seperti yang dikemukakan Suhendang (2002) di dalam Deklarasi
Cangkuang 4 November 1999, adalah seseorang yang memiliki pendidikan kehutanan
atau pengalaman dibidang kehutanan dan terikat oleh norma-norma. Beberapa norma
yang disebutkan antara lain;
Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menempatkan hutan alam sebagai upaya dari mewujudkan martabat dan integritas bangsa ditengah bangsa-bangsa lain sepanjang zaman, menghargai dan melindungi nilai-nilai kemajemukan sumber daya hutan dan sosial budaya setempat, bersikap objektif dalam melaksanakan segala aspek kelestarian fungsi ekonomi, ekologi dan sosial hutan secara seimbang dimanapun dan kapanpun bekerja dan berdarma bakti, menguasai, meningkatkan, mengembangkan dan mengamalkan ilmu dan teknologi berwawasan lingkungan dan kemasyarakatan yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan. Dan seterusnya, sampai 10 point yang disebut-sebut sebagai kode etik rimbawan Indonesia. (Baca: Kode Etik Rimbawan Indonesia). Tidak hanya itu, Rimbawan di lapangan juga diikat oleh 9 etika. (Baca: Etika Rimbawan Di Lapangan).
Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menempatkan hutan alam sebagai upaya dari mewujudkan martabat dan integritas bangsa ditengah bangsa-bangsa lain sepanjang zaman, menghargai dan melindungi nilai-nilai kemajemukan sumber daya hutan dan sosial budaya setempat, bersikap objektif dalam melaksanakan segala aspek kelestarian fungsi ekonomi, ekologi dan sosial hutan secara seimbang dimanapun dan kapanpun bekerja dan berdarma bakti, menguasai, meningkatkan, mengembangkan dan mengamalkan ilmu dan teknologi berwawasan lingkungan dan kemasyarakatan yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan. Dan seterusnya, sampai 10 point yang disebut-sebut sebagai kode etik rimbawan Indonesia. (Baca: Kode Etik Rimbawan Indonesia). Tidak hanya itu, Rimbawan di lapangan juga diikat oleh 9 etika. (Baca: Etika Rimbawan Di Lapangan).
“Rimbawan” sebagaimana yang dibebankan dalam kode etik dan
etika itu mungkin hanya pantas disebut ilusi, sebab tidak mudah menempatkan
diri sebagai sesuatu yang utuh, ia hanya didesakkan oleh bahasa dan kamus eksklusif,
dikondisikan oleh tata simbolik struktur sosial saja.
Berharap terlalu jauh pada sosok ideal Rimbawan mungkin perlu
juga dikoreksi, agar Sang Rimbawan tidak merasa menjadi “Aku” dalam konteks bangunan
keberhalaan yang dia bangun sendiri, baik berupa sistem maupun tradisi, sebab
semua yang melekat pada diri Rimbawan itu masih merupakan persoalan. Dan dalam
Kode Etik dan Etika itu, sesungguhnya mengandung kesangsian apakah Sang Rimbawan
dapat menghasilkan karya yang mengagumkan.
Saya ingin memberikan sedikit oto-kritik terhadap posisi
Rimbawan Indonesia. Apa yang dicirikan sebagai Rimbawan Sejati yang mempunyai
kompetensi, integritas dan independensi sesungguhnya belum tertanam dengan
baik, masih dangkal, apalagi berbicara tentang kemandirian – masih jauh dari
harapan.
Beberapa alasan yang dapat saya kemukakan dalam argumentasi
ini diantaranya, seperti perusakan hutan yang diakibatkan oleh Rimbawan itu
sendiri (saya tidak ingin menyebutnya oknum). Banyak kasus kerusakan hutan
justru dipicu oleh kebijakan-kebijakan kehutanan yang keliru. Ini proyeksi dari
posisi pengambil kebijakan yang tidak lain adalah Sang Rimbawan yang tidak
bermoral Rimbawan, jauh dari kode etik, apalagi etika. Ini saya sebut sebagai
degradasi moral dan mental Rimbawan.
Selanjutnya adalah soal pola pikir yang eksploitatif ketika
berbicara tentang hutan. Pola pikir eksploitatif masih mengakar kuat dalam benak Rimbawan Indonesia.
Yang terpikir adalah bagaimana memanfaatkan hutan untuk menghasilkan keuntungan
sebesar-besarnya secara ekonomi.
Lalu berikutnya adalah soal keahlian Rimbawan pada tataran dia
sebagai pengambil kebijakan. Sejauhmana Rimbawan itu telah memiliki keahlian
dalam menganalisa persoalan hutan dan kehutanan? Menjadi beban yang perlu
dipertanggungjawabkan.
Tiga hal di atas perlu segera dikoreksi, jika kita
benar-benar ingin mengakui diri sebagai Rimbawan. Jika tidak, maka berapa pun banyaknya
Rimbawan yang dilahirkan tidak akan memberi konstribusi apa-apa bagi perbaikan
kehutanan, melainkan justru menambah beban bagi hutan itu sendiri. Perlu diingat
bahwa di depan mata semakin jelas kecendrungan permasalahan Kehutanan yang
harus dihadapi. Persoalan kerusakan hutan terkait jaringan lokal, regional dan
global, penegakan hukum yang belum juga efektif, dan ada masyarakat sekitar hutan yang
selalu menjadi korban kambing hitam.
Langganan:
Postingan (Atom)
POPULAR
-
Suatu pagi di persimpangan jalan, sebuah botol aqua dicampakkan ke jalan dari celah kaca mobil yang setengah tertutup. Oops…, tiba-tiba da...
-
Aceh memiliki sejarah panjang perebutan sumber daya alam, dari zaman kolonial sampai sekarang. Sumber daya alam Aceh tidak hanya menj...
-
Apakah mungkin memperlambat laju kerusakan bumi, memperlambat meluasnya lubang pada lapisan ozon, menghentikan penyebaran gas polutan y...
-
Menyoroti masalah lingkungan hidup menjadi hal yang menarik bagi saya, apa lagi jika dapat menuliskannya secara popular, kritis, objekt...
-
Seorang lelaki tegap diejek sekerumunan orang, dari kaumnya sendiri, “Kamu terlalu banyak bicara, cobalah tunjukkan janjimu jika kau memang ...

Skenario dan Model Konseptual Hutan Wakaf
Misi
Konservasi secara langsung melalui pembelian lahan kritis. Diperuntukkan untuk membangun hutan yang berfungsi secara ekologis, baik sebagai sumber mata air, maupun sebagai penyerap karbon, ketersediaan buah-buahan dan tanaman obat, bahkan kayu untuk papan keranda, tempat bersarangnya burung-burung, lebah madu, primata dan species lainnya. Seterusnya akan diwakafkan dan disertifikatkan. Selengkapnya
Konservasi secara langsung melalui pembelian lahan kritis. Diperuntukkan untuk membangun hutan yang berfungsi secara ekologis, baik sebagai sumber mata air, maupun sebagai penyerap karbon, ketersediaan buah-buahan dan tanaman obat, bahkan kayu untuk papan keranda, tempat bersarangnya burung-burung, lebah madu, primata dan species lainnya. Seterusnya akan diwakafkan dan disertifikatkan. Selengkapnya
