Saya dengar ada Menteri
yang marah-marah. Sesuatu yang tampak sangar, namun sangsi dan nyaris percuma. “Mana
izin Amdalnya untuk bikin kanal-kanal ini,” teriak Menteri. Seseorang menyahut
dengan sumbringah, “Izin-izinnya sedang dalam proses Pak”.
Momen ini, luar biasa bagi kita yang menanti dengan cemas apa yang akan seterusnya dilakukan sang Menteri Kehutanan di Rawa tripa itu. Tetapi tidaklah istimewa bagi rakyat yang telah kehilangan mata pencahariannya di sana, dan satwa yang telah lenyap teritorialnya.
Momen ini, luar biasa bagi kita yang menanti dengan cemas apa yang akan seterusnya dilakukan sang Menteri Kehutanan di Rawa tripa itu. Tetapi tidaklah istimewa bagi rakyat yang telah kehilangan mata pencahariannya di sana, dan satwa yang telah lenyap teritorialnya.
Dan bagi rawa,
himpunan peristiwa tampak ganjil disaat itu. Pahlawan datang dengan langkah
yang lamban. Bekas cakar mesin penghancur membekas dalam. Ekosistem rawa tak
pernah bisa kembali ke bentuknya semula. Bukan karena saya tidak percaya kepada
mereka. Tetapi saya tidak tahu benar apakah mereka benar-benar hebat, menentang
kapitalisme yang membawa mesin dan ketamakan.
“Jangan sampai
negara dikalahkan oleh perusahaan hitam seperti Kalista Alam,” teriak T.
Muhammad Zulfikar yang sedang menjabat Direktur WALHI Aceh. Meski sebenarnya
dia sadar bahwa kesungguhan sang Menteri sebenarnya masih disangsikan.
Bagi
perusahaan Kalista Alam itu, barisan “kambing hitam” mungkin saja sedang
disiapkan dengan bayaran yang menggiurkan. Bos perusahaan
itu bukannya tidak terdidik, bahkan sangat mahir berbisnis, memiliki banyak
teman di tingkat elit, atau di barisan serdadu. Bukan tidak mungkin, sang
Menteri akan segera diasingkan dalam “kesendirian yang gagah” alias masuk kotak
pandora.
Namun kali ini, kepada
sang Menteri saya perlu angkat tapik dan mengacungkan jempol kanan dan kiri,
sambil menanti keputusan “nyata”, benar-benar jadi, bukan sekedar marah.
0 comments:
Post a Comment