Bukan lagi barang baru ketika kampanye politik berbentuk
baliho memenuhi ruang publik. Monotisme pesan verbal-visual ditampilkan paritas
oleh semua iklan politik lewat senyum narsis, gambar dirinya yang gagah, kental
akan kesukuan, adat dan budaya atau nasionalisme sejati. Pada intinya, yang
ingin disampaikan adalah
“Pilihlah saya dengan nomor urut sekian”.
“Pilihlah saya dengan nomor urut sekian”.
Vandalime juga menjadi bagian dari kegagalan mereka dalam
menggabungkan dunia simbol dengan akar masalah yang ingin dibangun. Akibatnya,
kekumuhan muncul dengan berbagai coretan warna di pohon-pohon penghijau kota. Sebuah pemandangan yang
tentu saja sangat memekakkan mata, hati dan pikiran siapapun yang melihatnya.
Vandalisme adalah kegiatan manusia yang merusak. Karena itu vandalisme sangat
merugikan.
Kenyamanan ruang publik menjadi hilang, reriungan terusik
oleh kehadiran iklan politik. Keteduhan pohon hijau segera berganti dengan kesemrawutan
hutan reklame di setiap sudut dan ruang publik. Bukan tidak mungkin jika hujan
dan angin kencang datang, sampah-sampah visual politik itu berpotensi bencana
bagi warga yang lalu lalang.
Tampaknya, iklan-iklan politik yang membanjiri ruang publik
tidak lagi berpedoman pada moralitas, keseimbangan lingkungan hidup, ekologi
visual dan kearifan. Tetapi menjadi rakus dan pogah dalam simbolilasi tanpa
mampu mengkomunikasikan visi misinya secara proporsional, persuasif dan
komunikatif.
Model kampanye yang menjajah ruang publik dengan mengecat
dan memaku batang pohon untuk menyandarkan baliho, jelas-jelas menzalimi pohon
dan masyarakat, apalagi jika dilakukan tanpa izin warga setempat. Tidak banyak
yang bisa diharapkan dari perilaku narsis semacam ini, kecuali kemasan luar
tapi kosong isinya.
Inilah jualan diri sendiri yang maha narsis. Tetapi semua
juga tahu kalau mereka sedang mengadu nasib untuk dipilih menjadi
manusia-manusia terhormat dengan cara instant. Padahal tanpa disadari, mereka
telah mengabaikan dogma dekorasi grafis kota
yang sejatinya mengedepankan estetika kota
ramah lingkungan.
Sebagai rakyat, kita perlu berhati-hati dalam menentukan siapa
yang layak untuk memimpin. Tidak terjebak oleh pemyampaian pesan verbal dan
visual kampanye semata. Foto dan janji yang besar-besar itu bukanlah apa-apa
jika tidak dibarengi dengan kerja besar untuk mensejahterakan rakyat dari beban
hidup yang juga semakin besar.
0 komentar:
Posting Komentar