Saya awali
catatan ini dari obrolan warung kopi. Saya menyebut diskusi kami sebenarnya
proletariat, progresif mewakili kelas sosial yang ganjil, meski belum pantas
menjadi kekuatan dalam sebuah gerakan revolusioner. Tetapi membebaskan negeri
ini dari keadaan setengah feodal dan setengah kolonial
nampaknya menjadi harapan.
nampaknya menjadi harapan.
Hari-hari
di Nanggroe memang sedang tidak akur. Kehidupan sangat tidak rapi
dan penuh ketidakpastian. Kongkritnya, rakyat menjadi sampoa untuk menghitung
kekuasaan besar. “Tak pernah utuh”… inilah keadaan akhir demokrasi bagaimana
keputusan-keputusan politik diambil. Kebenaran bukan hal yang penting dari
sebuah rezim yang tragis. Tetapi “kebetulan” akan segera dirayakan.
Kalaulah konsensus
bisa disebut kebenaran, itu hanya hasil pertimbangan praktis belaka dan akan
bekerja dengan dasar-dasar yang sebenarnya tidak kuat, tidak berlaku
selama-lamanya dan menjadi keraguan apakah akan diterima dimana saja. Namun
pertengkaran tidak perlu diteruskan, sebab rakyat sedang menunggu stabilitas
untuk bisa bekerja dengan nyaman agar siklus hidup terus berlangsung.
Besok atau
lusa, kita sesungguhnya akan segera melupakan sifat tragis demokrasi itu.
Siklus waktu mungkin saja akan mematikan sikap militan kaum proletar dan
berganti fanatisme, buta dalam melihat kebenaran sejati. Namun semua dianggap
penting dalam demokrasi meski tanpa ambisi memperoleh kebenaran.
Dipaksa
atau tidak, mungkin kita akan segera melahap mentah-mentah sebuah hasil
kemenangan dari pertarungan politik yang telah digelar. Keyakinan terhadap
kebenaran akan segera lupa kita rumuskan dimana tempatnya. Makna yang sangat
berarti, yang kita pertahankan mati-matian dari hidup kita pun tak akan lagi
kita temukan. Sebab masih kita sangsikan apakah siklus zaman memang benar-benar
telah melahirkan pemimpin yang “lebih baik” di Nanggroe.
Wallahu’alam…
0 comments:
Post a Comment