Ada segudang
jejak memilukan dan tangis dahsyat dibalik bongkahan kayu dan batu dari gunung
pasca banjir tempo hari. Ditengah tamasya orang-orang hebat di lokasi banjir
Tangse dan ditengah keriuhan pelancong yang sok bersimpati sambil berfoto,
mereka tidak tahu apa
sebenarnya yang sedang disaksikan.
sebenarnya yang sedang disaksikan.
Setiap tahun orang-orang di kota
memperingati hari lingkungan hidup se-dunia. Disana orang-orang berorasi
seperti hendak menegaskan bahwa kerusakan alam akan berbuah bencana. Koran dan
televisi memuat ritual yang melankolis itu. Sarat acara nostalgia sekaligus
keluhan.
Berapa kali kita menyadari bahwa peristiwa bencana itu bukan datang dari
arwah korban. Peristiwa itu datang lagi karena keadaan. Keadaan itu sejauh ini
tak pernah diubah dan belum pernah kita saksikan formula jitu untuk merubah
keadaan di sana.
Yang ada hanyalah bentuk konsep yang berserakan. Bukankah yang segera dibutuhkan
adalah laku? bukan bentuk.
Terus-terusan mengeksploitasi alam berarti terus-terusan bencana. Semua itu
terjadi sebab kita terus-terusan rakus. Berubahkah kita dari sikap rakus yang
dikecam para aulia dan Nabi-nabi? Bukankah “rakus” adalah tema lama dari kisah
lama? Lalu mengapa kita memvariasikannya menjadi baru?
Peristiwa berjalan dengan keluhan. Tiap masa punya gerutunya sendiri.
Suasana muram di pengungsian akan selalu dirasakan di suatu masa, di suatu
tempat dari buah karya kerakusan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, cerita-cerita
pilu dan tangisan dahsyat dikala bencana akan segera dilupakan di tengah
tamasya itu. Orang-orang juga segera lupa apa yang lebih penting untuk
dilakukan.
0 comments:
Post a Comment