Saya rasa semua orang di Gampong tahu tentang tabiat
orang-orang kota yang hidup boros. Mereka membaca koran dan menonton televisi bagaimana
cara pejabat-pejabat itu memanipulasi anggaran. Hidup memang sudah kadung
gawat. Meski tinggal di Gampong, sisa lahan sudah tidak mencukupi untuk digarap. Mereka juga tidak punya pekerjaan tetap meski sebenarnya setiap hari mereka
bekerja. Kadang jadi buruh bangunan, kadang jadi buruh galian pasir di sungai,
kadang melansir kayu di hutan. Semua pekerjaan dilakoni sesuai situasi dan
permintaan.
Di Gampong mereka mendapat jatah raskin yang mutu berasnya ala
kadar. Ada juga surat miskin untuk berobat gratis di Rumah Sakit walau seringkali
harus menebus obat paten yang harganya selangit di luar Rumah Sakit.
Kondisi sosial memang kontras ketika berhadapan dengan
realitas; bahwa pejabat harus ada sopirnya, harus ada ajudannya, harus tahu
kapan perlu tersenyum dan bagaimana cara berjalan. Sementara ada elemen rakyat yang
berada dalam kesendirian dan terus sendiri meraba-raba nasib, identitas dan
eksistensinya.
Bagaimana menusia-manusia palsu itu sampai hati mengeluh
soal ruang rapatnya yang harus direnovasi? Berbasa-basi dalam sikap feodal,
berpidato memakai teks lengkap dengan staf khusus pembuat pidato, hobi memakai
mobil mewah dan hobi malas menghadiri sidang untuk rakyat?
Banyak lagi yang perlu kita tanyakan. Tetapi malas untuk
kita tanyakan disini. Kita punya kecendrungan untuk melihat situasi ini sebagai
sesuatu yang memang hadir dan dihadirkan, bukan sebagai ide. Tetapi sebagai gambar
hidup, strategi dan tetarium politik belaka. Lalu dalam sekejap kita
mengabaikan keringat lelaki-lelaki perkasa dan perempuan paruh baya yang
mencangkul di sawah, memanen padi dan memetik sayur.