Apa lagi yang perlu ditulis tetang banjir. Bukankah banjir
telah menjadi rutinitas hidup rakyat? Meski Orang-orang hebat diatas sana mempunyai
ragam persepsi tentang banjir. Ada banjir bandang, banjir kiriman, dan entah
apa lagi terma yang dipakai untuk menerjemahkannya.
Istilah bajir bandang dipersepsikan sebagai limpahan banjir
yang terjadi akibat hujan yang turun terus menerus, sementara penjenuhan air
terhadap tanah di wilayah tersebut berlangsung dengan cepat. Penggenangan air
berkumpul kepermukaan rendah dan mengalir dengan sangat cepat ke daerah yang lebih
rendah lagi dan menghantam semua objek yang dilewatinya. Bagi wilayah hilir,
terma yang sering dipakai adalah banjir kiriman, akibat adanya kelebihan air
yang dibawa oleh sungai yang dikirim dari wilayah hulu. Hulu dipersepsikan
sebagai pengirim dan hilir sebagai penerima.
Apapun terma yang dipakai, banjir adalah peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang
berlebihan merendam daratan. Yang menjadi catatan penting, “kenapa
peristiwa-peristiwa banjir terus saja terjadi berulang-ulang, bahkan di tempat
yang sama?”
Untuk peristiwa-peristiwa banjir di Aceh, para ahli geologi menjawabnya
berdasarkan analisis fakta bahwa secara geologi bencana banjir akan terus
berulang karena kondisi geologi terdiri atas perbukitan serta berada di zona
patahan aktif Sumatera, yang menyebabkan susunan bebatuannya labil dan tanahnya
mudah longsor.
Para aktivis lingkungan hidup memberi tuduhan kepada penebang
liar sebagai biang kerok terjadinya banjir. Sementara dari dalam lembaga
formal, pemerintah memberi segudang alasan klise atas ketidakmampuan negara
melindungi rakyat dari musibah ini.
Di balik itu semua, hal yang lebih realistis telah ditunjukkan
oleh adik-adik mahasiswa dalam mencari dukungan dana untuk sesegera mungkin
membantu korban bencana lewat kotak-kotak amal yang mereka sodorkan di zebra
cross lampu penyebrangan. Mereka adalah mahasiswa yang hebat, melawan sinisme
dari hiruk pikuk pengendara yang kadangkala bersikap acuh tanpa ampun dibawah
teriknya kota.
Negara harusnya malu sebab belum membereskan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Balai-balai yang
menangani sungai di Pekerjaan Umum (PU) juga belum dibereskan dan sulit kita
bayangkan sinerginya. Rakyat yang paling menderita akibat bencana dimanakah
diletakkan?
Pada akhirnya. Apapun realitasnya dan siapapun yang meliliki
tanggung jawab moral dalam menghadapi rutinitas banjir ini, sebuah optimisme tetap
diperlukan dalam menerobos birokrasi rumit manajemen bencana, bukan siapa yang
akan kita tuding. Sebab kita “belum beres”.
Mameh, aduen. Spesifik deuh tema lam blog nyoe
ReplyDeleteBeri otokritik jika ada yang keliru.
DeleteTeurimeng geunaseh ka neu singgah.
Semoga bermanfaat...