“Tingkah laku kepada masyarakat sipil harus diatur dengan
meletakkan rasa hormat yang tinggi kepada semua aturan dan tradisi masyarakat
dengan tujuan untuk menunjukkan secara efektif, melalui perbuatan, akan
keunggulan moralitas pejuang gerilya dibanding tentara penguasa”. (Che
Guevara).
Dalam konteks kekinian Aceh, kita tidak lagi berbicara
tentang perjuangan bersenjata. Tetapi gerilya dalam arti gerakan perjuangan
moral dari orang-orang yang memiliki kesamaan pandangan terhadap lingkungan
hidup dan masa depan rakyat yang lebih bermartabat.
Gerakan moral harus terus dibangun walau nyanya sedikit atau
bahkan tanpa ada dukungan finansial, gerakan yang secara terbuka responsif
terhadap keluhan-keluhan masyarakat terbawah, yang mampu memperlakukan
masyarakat dengan penuh rasa hormat dan santun.
Banyak hal janggal yang tengah berlaku antara
kelompok-kelompok partai politik yang mengklaim mendapat dukungan popular
rakyat guna meraih legitimasi untuk menjadi rezim baru. Propaganda dan
indoktrinasi seringkali menjadi metode jitu untuk mencapai tujuan-tujuan
mereka.
Semakin dekat kita mengamati, semakin terang kita mendapati
bahwa dunia poitik yang sedang dilakonkan penuh dengan kotoran. Orang-orang
yang ada di arena ini busuk dan culas. Kebanyakan mereka terdiri dari
intelektual picisan, jauh dari kejujuran dan kejam, idealisme yang sudah
tergerus tanpa rasa keadilan.
Inilah perkara yang tengah berlaku dalam masyarakat, yang
membawa kita kepada kekhawatiran akan peminggiran akal sehat dan ancaman dari
penggunaan kekuasaan legitimasi secara sewenang-wenang terhadap masyarakat lain
yang lemah dan tidak berdaya secara politik. Bahaya serius kemerosotan moral
adalah ketika massa
politik dibumbui caci maki dan rumor, jauh dari debat publik yang jujur dan
adil.
Persoalan-persoalan lingkungan hidup, sosial, ekonomi dan politik
sepertinya belum dapat dijelaskan secara rasional, yang terjadi hanyalah mencari kambing hitam. Sementara itu partai-partai politik dan ormas-ormas
terlibat terlalu jauh dalam memperebutkan kursi di legeslatif dan kehidupan
nyaman disana setelah lebih dari separuh kewenangan “Jakarta”
di Aceh terhapus dari kebijakan pemerintahan lokal pasca damai Helsinki.
Untuk itu kita merindukan gerakan penyeimbang dari
intelektual-intelektual Aceh yang dinamis dan penuh harapan dari generasi
idealis murni, memiliki totalitas dalam komitmen, kejujuran yang nekat atau
bahkan “gila” terhadap perjuangan sejati.
Masyarakat yang telah dikacaukan harus disembuhkan dari
histeria massa dan sesegera mungkin kembali
kepada akal sehat, sebab jika arus massa
gamang terus mengalir, maka rasioalitas akan hancur. “Dimanakah mencari
manusia-manusia jujur yang terpanggil untuk menyelamatkan martabat Aceh?”
adalah sebuah pertanyaan penting.
Tidak ada salahnya kita sedikit bernostalgia dan mengambil
pelajaran dari sosok yang tertulis dalam sejarah perjuangan Aceh, Teungku Hasan
Muhammad Di Tiro. Sebagaimana diceritakan Nur Juli dalam Munawar A. Djalil,
(2009):
Ketika diadakan
perundingan GAM-RI di Davos, Swiss, Genewa pada 2002 lalu. Nur Juli, setelah
perundingan itu, pada pukul 4 pagi mesti check out dari hotel tempat dia
menginap untuk kembali ke Malaysia, malamnya telah diadakan acara perpisahan
sesama anggota perundingan kalangan GAM yang juga dihadiri oleh Teungku Hasan
Muhammad Di Tiro. Namun alangkah terkejutnya Nur Juli, ketika keluar hotel
pukul 4 pagi Hasan Tiro telah berada di ruang tunggu untuk sekali lagi
mengucapkan kalimat perpisahan. Nur juli merasa begitu terhormat bertemu
dengannya.
Sebuah perilaku santun yang seharusnya tidak dilupakan
oleh histeria massa partai politik lokal Aceh yang kerap mencatut
nama Tiro. Aceh dalam ujian sejarah…
0 comments:
Post a Comment