Ketika pejabat-pejabat itu diyakini
oleh semua orang dapat disuap dan ada keinginan dari pejabat itu sendiri untuk
mendapat tambahan masukan bagi gaji mereka, kemungkinan adanya proses yang
jujur yang berhubungan dengan tata guna lahan akan sulit tercapai.
Rencana pembangungan daerah menunjukkan
bahwa kebanyakan kepala daerah mengatur siasat untuk mengalokasikan lahan hutan
kepada pihak yang berminat mengkonversi lahan yang luas menjadi perkebunan atau
tambang.
Kesalahan selalu saja dibuat dan
memberi tekanan yang berat kapada hutan Dipterocarpaceae yang diubah menjadi
perkebunan. Meskipun banyak protes dan demonstrasi terhadap birokrasi yang
korup, kenyataannya menunjukkan bahwa korupsi dan suap terus berlanjut dan
membawa dampak tidak rasional pada pembuatan keputusan tata guna lahan (Lihat: Konflik Lahan).
Saya berpendapat bahwa “Hutan Untuk
Kesejahteraan Rakyat” masih menjadi mitos, sebab para pejabat yang ada di
institusi-institsi formal negara dari berbagai eselon atau kepangkatan kemungkinan
akan mendukung pihak-pihak yang memiliki uang paling banyak (Baca: Buah Korupsi). Sebuah proyek
konversi tidak akan berjalan sebelum para pengusaha kaya menemukan cara jitu untuk
membayar beberapa pejabat di tingkat lokal dan nasional.
Jika terjadi pertemuan antara
perkebunan kelapa sawit, pemerintah lokal sering memberi dukungan yang kuat
untuk perluasan perkebunan kelapa sawit yang diusulkan dan mengabaikan
kekhawatiran masyarakat terhadap hak-hak mereka atas lahan dan sumber daya alam
setempat. Para serdadu berseragam atau
berpakaian preman selalu disiapkan untuk berjibaku dan memandang rakyat lokal
dengan tatapan jijik, seperti cara mereka memperlakukan kriminal.
Namun pada tataran hukum, sejumlah
fakta yang tersedia didepan mata selalu saja menjadi barang bantahan. Ketika
persepsi ketidakadilan seperti itu meningkat, maka akan muncul lingkaran setan
dari akumulasi keinginan membalas dendam.
Pada tataran kelembagaan daerah, Hasil
identifikasi tim penyusunan rencana strategis pengelolaan hutan Aceh
menyebutkan bahwa dinas kehutanan dan perkebunan kabupaten/kota masih lemah
data base, strategi planning dan tupoksi juga kacau, manajemen SDM tidak
efisien. Ancaman konflik kepentingan dengan dinas lain tinggi dan belum ada
kejelasan pembagian wewenang provinsi dengan kabupaten.
Badan perencanaan daerah (Bappeda) yang
secara umum memiliki kejelasan tupoksi perencanaan wilayah, ternyata masih saja
berorientasi pada pembangunan ekonomi jangka pendek, kurang transparan dan
lemah pada tupoksi konservasi. Lembaga ini memiliki tekanan politik yang tinggi
dan sarat dengan penyalahgunaan wewenang.
Badan pengendalian lingkungan daerah
(Bapedalda) sering tidak dianggap penting oleh dinas lain, lemah dalam hal
kapasitas monitoring meskipun kuat dari segi mandat. Kurang transparan dan
rentan terhadap Amdal bayaran serta memiliki tekanan politik yang tinggi.
Badan pengelolaan kawasan ekosistem
Leuser (BPKEL) memiliki dukungan kuat dari gubernur. Tetapi memiliki SDM dan
anggaran terbatas dan belum mendapat pengakuan yang luas sebagai organisasi
pengelola kawasan. Lembaga ini terancam, terutama oleh perangkat hukum yang
dianggap belum kuat.
Sementara itu, Dinas kehutanan dan
perkebunan provinsi yang memiliki cakupan wilayah yang luas ternyata tidak
memiliki komoditi orientasi pengelolaan wilayah, inefisiensi dan lemah dari
segi tupoksi konservasi, dimana produksi masih menjadi tumpuan utama.
Kurang transparan dan tidak efisien
menjadi ciri utama kondisi lembaga daerah terkait pengelolaan hutan di Aceh.
Pengelolaan hutan masih lamban dalam proses reformasi. Saya menduga ini
disebabkan oleh kendali kelompok kepentingan kuat yang telah lama merasuk dalam
industri kehutanan - tentu saja sektor ini dipandang sebagai industri penghasil
miliaran dolar.
Persoalan menjadi rumit ketika Badan
Pertanahn Nasional (BPN) sering "melempar kucing dalam aduan".
pejabat di institusi ini, baik di pusat maupun di daerah seringkali berafiliasi
dengan pemodal. Selama administrasi pertanahan kita masih kacau, selama itu
pula masalah sengketa lahan akan terus terjadi. Sebab masalah tanah dan
sengketa lahan di negeri ini tidak terlepas dari buruknya kredibilitas Badan
Pertanahan Nasional.
Sebagai rakyat, kita berkepentingan
untuk terus mendorong reformasi sesuai kebutuhan rakyat, bukan pemodal dan
penguasa. Jika opsi ini gagal, maka revolusi perlu segera digagas.
0 comments:
Post a Comment