Akuntabilitas yang tinggi dari kebijakan dan program
pembangunan kehutanan perlu segera diupayakan secara konsisten dan non
diskriminatif, sebab realitas selama ini menunjukkan bahwa penetapan kebijakan
yang tertutup atau sengaja ditutup-tutupi dan tidak partisipatif hanya akan
menguntungkan sekelompok orang yang
memiliki akses terhadap proses penetapan kebijakan, yang menyebabkan mayoritas
masyarakat lainnya menjadi dirugikan dan terabaikan.
Bukan zamannya lagi ekslusivitas lembaga negara atau
kelompok tertentu dipertahankan, khususnya mengenai data dan informasi tentang
pembangunan kehutanan, jika sektor kehutanan ingin dipandang sebagai sektor keunggulan
komparatif, bukan sebagai romantisme masa lalu yang pernah mencapai puncak
keemasannya.
“Hutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” yang selama
ini diagung-agungkan ternyata tidak lebih hanya sebuah mitos yang tidak pernah
teraktualisasi dalam kenyataan. Karena itu, maka konsep kebijakan kehutanan masa
depan harus mampu menjawab realitas yang ada, memihak kepada rakyat dan
berkeadilan.
Secara konseptual , ekosistem hutan selain berfungsi sebagai
habitat, juga berfungsi mengatur tata air yang bermanfaat untuk bermacam
keperluan dari hilir sampai luhu. Karena itu, perlu diskenariokan agar
kehutanan mampu mewujudkan keberadaan hutan yang terjamin dan berjalan sesuai
fugsinya, baik fungsi konservasi, fungsi lindung maupun fungsi produksi, dengan
tetap mempertahankan luasan hutannya dan terkelola secara mantap dan lestari.
Pemanfaatan hutan yang optimal, proporsional dan adil, keterjaminan
terhadap keberlangsungan produksi, serta perlindungan dan memberi rasa nyaman bagi
masyarakat adalah sebuah harapan besar. Salah satu kesadaran yang perlu
dibangun bahwa kegagalan pembangunan kehutanan selama ini sesungguhnya
dihasilkan dari sistem dan praktik yang takluk pada kepentingan politik ekonomi
jangka pendek dan pengabaian kelestarian ekosistem.
Sebuah mis kalkulasi terjadi secara fatal yang justru member
hasil perhitungan keliru berupa ketidakseimbangan antara profit ekstraksi
sumber daya hutan dengan bencana alam yang ditimbulkan, termasuk biaya
pemulihan pasca bencana.
Benar sekali pak,
BalasHapusSalah satu contoh ketidakterbukaan informasi pengelolaan hutan adalah ketiadaan informasi kepada masyarakat terhadap Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)oleh Dinas Kehutanan.
Seperti yang diberitakan di media lokal ini:
http://harian-aceh.com/2012/01/03/antara-pembalakan-liar-dan-sertifikasi-hijau-1#comment-20715