Sejarah mengajari kita bahwa ada bangsa-bangsa yang
mengalami kemasyuran, tetapi kemudian runtuh. Cina dan India di benua Asia,
Mesir di Afrika, Yunani dan Romawi di Eropa dan Inka, Aztec dan Maya di
Amerika, Sriwijaya, Majapahit dan Kerajaan Acheh di Indonesia. Pengkhianatan,
korupsi, serta ketamakan yang memadamkan jiwa pionir adalah faktor penting
runtuhnya kejayaan sebuah bangsa.
Ketika manusia merasa diri sebagai makhluk superior dan
segalanya seolah-olah dapat diatasi dengan teknologi, maka pada saat itu sesungguhnya
manusia sedang menghadapi bahaya. Pembangunan yang semata-mata berorientasi
kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, disadari atau tidak telah mendorong
pula tumbuhnya pola hidup yang konsumtif, bahkan sangat konsumtif.
Materi tidak lagi dipandang sekedar memenuhi kebutuhan hidup
melainkan sebagai simbol status sosial, lambang kesuksesan dan modernitas.
Semakin banyak materi yang diperoleh seseorang, maka semakin tinggilah status
sosial, semakin sukses dan semakin modernlah dia. Maka orang-orang akan cendrung
menumpuk dan ingin memperoleh kekayaan materi sebanyak-banyaknya.
Orang-orang semakin merasa bahwa kedudukan yang tinggi
menjadikannya tidak pantas mengendarai kenderaan yang biasa-biasa saja,
karenanya mereka harus memiliki mobil mewah. Mereka juga merasa tidak pantas
untuk tinggal di rumah biasa, karenanya mereka harus membangun rumah-rumah yang
mewah pula. Begitulah perilaku itu terbentuk agar orang lain dapat melihat
bahwa ia hidup dengan cara yang lebih pantas.
Untuk menjadi pantas, mereka harus pamer. Dengan pola itu,
maka tingkat konsumsi manusia akan semakin tinggi, semakin banyak sumber daya
alam yang dieksploitasi, serta semakin banyak limbah yang dihasilkan ketika
mengekstrak sumber daya dari alam. Kecemasan muncul ketika produsen dan
konsumen memiliki kesadaran lingkungan yang rendah. Ditambah lagi rendahnya kesadaran
hukum dan komitmen untuk melakukan konservasi alam. Fungsi kontrol sosial
masyarakat belum berjalan dengan baik.
Dalam opini berjudul “Publik
Tanpa Partisipasi”, Teuku Kemal Fasya menyebutkan: “Dalam realitas politik
kita, partisipasi memang tidak mudah muncul dari warga. Kita mungkin bisa
menemukan berbagai sebab, di antaranya 1) kemiskinan, akibatnya imajinasi
sosial tentang kepentingan di luar dirinya sulit dipenuhi, 2) efek depolitisasi
publik selama puluhan tahun, 3) kurangnya prakarsa pendidikan kewargaan (civic
education) yang menjelaskan hak dan kewajiban sebagai warga negara, 4) minimnya
informasi pembangunan 5) rendahnya mutu gerakan sosial karena minimnya lembaga
perwakilan non-parlemen di dalam masyarakat 6) kultur demokrasi yang belum
berdenyut di akar rumput, dan lain-lain.”
Selama ini yang melakukan protes terhadap ketidakbecusan
pembangunan adalah mereka yang terkena langsung oleh pencemaran, selebihnya
adalah sebagian kecil elemen Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pandangan yang
seharusnya ekosentris menjadi antroposentris, sebuah pandangan hidup yang
menganggap alam diciptakan hanya untuk kepentingan manusia dan bersifat
eksploitatif.
Antroposentris mengakibatkan deplesi sumber daya alam dan
merusak fungsi ekologis. Seperti penyusutan luas hutan, pendangkalan sungai dan
erosi genetik. Menjadi parah ketika hal tersebut tidak mendapat tanggapan
serius dikalangan pejabat berwenang. Proses kerusakan alam pun terjadi secara
progresif dan menjadikan bumi menjadi tidak lagi nyaman untuk ditempati.
Otto Soemarwoto, seorang ahli terkemuka bidang ekologi dan
pembangunan menyebutkan bahwa budaya antroposentris harus diubah menjadi
ekosentris. Masyarakat merupakan pengelola lingkungan sehingga kita
masing-masing adalah pengelola lingkungan. Sayang tidak banyak yang menyadari
hal ini.
Kisah-kisah memilukan di lokasi-lokasi bencana alam
seharusnya menjadikan kita peka dan belajar lebih banyak, serta segera berupaya
merubah pola hidup konsumtif kita. Namun manusia memang makhluk yang paling
istimewa. Saking istimewanya, peneliti senior George Junus Aditjondro
menggambarkan manusia seringkali lebih bodoh dari keledai, karena sering
terantuk pada batu yang sama. Nah..!
0 comments:
Post a Comment