Masyarakat Gampong di Aceh dan realitas kehidupan di
perkampungan tidak sesederhana seperti yang dibayangkan banyak orang.
Masyarakat gampong mau tidak mau akan bersentuhan dengan petani, segolongan
rakyat yang hidup dari mengolah tanah. Sebagian besar masyarakat gampong adalah
bertani, meskipun ada banyak ragam mata pencaharian lain.
Petaka mulai datang ketika terjadi alih fungsi di lahan-lahan yang awalnya memiliki peran penting dalam memecahkan persoalan pengangguran. Citra tentang gampong sebagai sebuah tempat yang damai dan makmur pun perlahan-lahan mulai menghilang.
Ada
beberapa jawaban terhadap pertanyaan mengapa luas sawah yang dimiliki oleh
orang gampong semakin menyempit. Terjadi penjualan tanah kepada orang dari luar
gampong karena pemilik tanah sering terdesak oleh kebutuhan uang seperti untuk
biaya pengobatan, pendidikan anak, hajatan perkawinan dan membayar hutang
walinya yang meninggal dunia. Pada masa konflik GAM (Gerakan Aceh Merdeka)
dengan TNI (Tentara Nasional Indonesia) beberapa tahun silam, sering terjadi
penangkapan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan GAM oleh TNI,
yang ujung-ujungnya korban harus membayar sejumlah uang tebusan jika tidak
ingin “disekolahkan”.
Mekanisasi dan komersialisasi pertanian yang diprakarsai
pemerintah memang mengubah pola produksi pertanian. Pola tanam padi menjadi dua
kali panen dalam setahun. Tetapi panen kedua seringkali gagal karena
sawah-sawah kekurangan air. Dalam situasi demikian, sering terjadi konflik
antar petani dalam memperebutkan air irigasi.
Pada tataran buruh tani (ureung
tueng upah seumula: bahasa Aceh), sekelompok buruh tani akan bekerja
efisien apabila kemampuan kerja dan kekuatan tubuhnya kuat. Buruh tani yang
lemah fisiknya menjadi marginal dan sering tidak diajak masuk dalam kelompok
itu. Hal ini menjadi pertimbangan karena jika kelompok itu tidak mampu bekerja
dengan cepat, maka kelompok yang bersangkutan tidak memiliki kesempatan untuk
mengakses pekerjaan dari pemilik sawah lainnya.
Itulah beberapa realitas gampong yang mungkin tidak banyak
terungkap. Hal lainnya adalah tentang isu keseharian warga di gampong terkait
dengan politik lokal. Ada
dinamika politik gampong dan dinamika kehidupan sosial masyarakat yang bersifat
personal. Sering terjadi hubungan kekeluargaan yang akrab antara warga dengan
perangkat gampong. Ada
panggilan yang terus melekat meskipun seseorang sudah tidak lagi menjabat
sebagai aparat gampong, seperti sebutan Pak Geusyik dan Teungku Waki.
Namun ada juga persoalan yang mengganjal seperti adanya
perangkat gampong yang tidak jujur, yang akhirnya memicu warga menggulingkan
perangkat gampong. Mobilisasi pun sering terjadi oleh orang yang kadang
memiliki persoalan pribadi jauh sebelum muncul persoalan korupsi oleh perangkat
gampong setempat. Isu utamanya adalah penggelapan dana gampong. Geusyik yang
tidak terbiasa memimpin dengan cara transparan akhirnya mengundang kecurigaan
warga secara lebih luas lagi.
Catatan ini adalah sekelumit dinamika gampong tempat saya
dilahirkan, yang kerab dianggap kecil tetapi sebenarnya tidak remeh. Kejadian
sehari-hari di gampong yang menunjukkan dinamika konfliktual dalam hubungan
diantara mereka, bercampur dengan persepsi dan perilaku rasional secara sosial,
ekonomi dan politik.
0 comments:
Post a Comment