Dimanakah mencari sumber
kayu legal pasca moratorium logging di Aceh? Kayu impor dan kayu hasil sitaan
tidak sepenuhnya menjawab ketersediaan kayu untuk pembangunan di Aceh secara
terus menerus, sementara itu pembangunan infrastruktur memerlukan bahan kayu yang
tidak sedikit. Kondisi ini telah
menyuburkan praktik-praktik illegal, sebab bagaimanapun juga akan muncul
dualisme kepentingan antara kepentingan pembangunan infrastruktur dengan
penegakan hukum.
Kebutuhan kayu terus meningkat ditengah intensitas kerusakan hutan alam yang juga terus meningkat. Menurut Greenomics Indonesia, hampir 80 persen pemenuhan kayu untuk proyek-proyek pemerintah Aceh berasal dari kayu-kayu illegal. Hasil investigasi Walhi Aceh juga menyebutkan bahwa 70 persen panglong kayu di Aceh memasarkan kayu dari sumber illegal tanpa dokumen resmi, kecuali yang berasal dari perizinan HGU.
Kondisi tersebut akan
sedikit terbantu jika saja ada inisiatif yang melibatkan masyarakat tani dalam
memberdayakan lahan-lahan kosong dan kritis untuk dikembangkan menjadi
pertanian yang bermanfaat. Idenya adalah mengantisipasi dampak dari moratorium
logging dengan mengembangkan “Kebun Kayu”.
Kebun kayu dapat bertujuan
menunjang pertumbuhan industri perkayuan dengan penyediaan bahan baku yang
berkesinambungan, minimal untuk kebutuhan lokal. Disisi lain, kebun kayu juga dapat
meningkatkan potensi lahan, terutama pada lahan-lahan yang selama ini tidak
produktif, seperti areal semak belukar, alang-alang maupun tanah gundul.
Beberapa komunitas masyarakat akan terbantu ekonominya jika program semacam ini
dikembangkan.
Sasarannya adalah
terbentuknya kebun kayu yang diusahakan masyarakat, guna memproduksi atau
memenuhi kayu legal bagi pembangunan secara berkelanjutan.
Tidak seperti Hutan Tanaman
Industri (HTI), kebun kayu tidak memerlukan proses administrasi dan prosedur
yang rumit dan dapat dikembangkan di lahan pribadi atau sewaan, bahkan dengan
mekanisme pembagian hasil antara pemilik lahan dengan pengelola, pekerja dan investor
dengan persentase pembagian hasil yang disepakati bersama.
Beberapa jenis kayu dan daur
dapat diarahkan menurut tujuan usaha. Untuk tujuan usaha kayu pertukangan,
daurnya antara 10 tahun sampai dengan 30 tahun, dengan jenis kayu meranti (marga
Shorea), jati, mahoni, jabon merah dan lain-lain. Jenis ini biasanya diminati
oleh industri Vancer dan plywood kayu gergajian.
Untuk tujuan usaha kayu
serat, daurnya antara 6 tahun sampai dengan 20 tahun dengan jenis kayu jabon
putih, Pinus merkussi, Albizzia
falcataria dan lain-lain. Jenis ini biasanya diminati oleh industri pulp dan
fiber board.
Untuk tujuan kayu energi,
daurnya 5 tahun dengan jenis kayu Gamal, Acacia dan lain-lain. Jenis ini
biasanya diminati oleh industri arang dan kayu bakar.
Perkembangan industri
furniture di tanah air menyebabkan beberapa jenis kayu serat dapat diolah
sebagai mebel, seperti jenis kayu jabon putih yang sekarang juga mulai dilirik
oleh industri pertukangan. Sering terdapat keadaan yang berbeda seiring dengan
langkanya bahan kayu.
Nah, tunggu apalagi?
Bukankan kebun kayu dapat menjadi
leading sector (sektor utama) pemenuhan bahan kayu yang menjanjikan, ditengah
kegamangan pemerintah dalam mencari sumber-sumber resmi pemenuhan kayu legal
bagi pembangunan Aceh pasca moratorium logging?
Sebagai rakyat, kita perlu
ingat bahwa dalam banyak hal; rakyat jugalah yang dapat memberikan solusi
alternatif bagi keberlangsungan kehidupan di negeri ini. Sebab elit politik
terlalu sibuk mengurus partai politik dan diri mereka sendiri, sehingga lupa
terhadap persoalan substansial yang tengah dihadapi bangsa ini.