Masalah pencemaran lingkungan hidup dapat dikurangi dengan
penghematan energi melalui mekanisme efisiensi penggunaannya. Menaikkan
efisiensi penggunaan energi yang dimaksudkan disini adalah mencapai tujuan atau
hasil yang sama dengan jumlah energi yang lebih sedikit. Artinya, energi akan
menjadi hemat dengang cara menaikkan efisiensinya.
Mesuji
19.35
No comments
Berawal dari tanah, rakyat jelata itu rubuh ke tanah. Niat mempertahankan martabat dan lahan garapan dijawab dengan senjata oleh serdadu. Nurani tercabik saat ingin menyambung hidup. Rakyat pun mengadu kepada Tuhan, mengadu ke Komnas HAM, mereka angkat bicara tentang sengketa di atas lahan yang mereka diami selama puluhan tahun hingga hadirnya perusahaan PT Sumber Wangi Alam (SWA) pada tahun 1996.
Rakyat tidak ingin merampok perusahaan. Rakyat juga tidak menuntut hak sebagaimana pernah dijanjikan oleh perusahaan yang akan memberi plasma desa seluas 1.000-an hektar. Tetapi rakyat yang jujur ini hanya menuntut dipenuhinya hak seluas 533 hektar saja agar mereka bisa makan.
Anehnya sejak peristiwa pembantaian itu tercium ke publik, orang-orang hebat yang mengurusi serdadu di negara ini ramai-ramai berkelit. Padahal faktanya disana ada serdadu dan bau mesiu. Disana ada 40 orang preman. Disana ada tatapan sangar orang-orang yang memakai golok saat warga lewati jalan.
"Jika kami dijahatin, tentu kami balas. Tetapi jika mereka baik, kami akan membalas sepuluh kali lebih baik", begitu kata warga Sodong, Mesuji. Sebuah pelajaran berbeda dari rakyat kampung yang tidak pernah dimengerti oleh orang-orang hebat di negeri ini.
|Afrizal Akmal, 2011|
Rakyat tidak ingin merampok perusahaan. Rakyat juga tidak menuntut hak sebagaimana pernah dijanjikan oleh perusahaan yang akan memberi plasma desa seluas 1.000-an hektar. Tetapi rakyat yang jujur ini hanya menuntut dipenuhinya hak seluas 533 hektar saja agar mereka bisa makan.
Anehnya sejak peristiwa pembantaian itu tercium ke publik, orang-orang hebat yang mengurusi serdadu di negara ini ramai-ramai berkelit. Padahal faktanya disana ada serdadu dan bau mesiu. Disana ada 40 orang preman. Disana ada tatapan sangar orang-orang yang memakai golok saat warga lewati jalan.
"Jika kami dijahatin, tentu kami balas. Tetapi jika mereka baik, kami akan membalas sepuluh kali lebih baik", begitu kata warga Sodong, Mesuji. Sebuah pelajaran berbeda dari rakyat kampung yang tidak pernah dimengerti oleh orang-orang hebat di negeri ini.
|Afrizal Akmal, 2011|
Dinamika Gampong
19.18
No comments
Masyarakat Gampong di Aceh dan realitas kehidupan di
perkampungan tidak sesederhana seperti yang dibayangkan banyak orang.
Masyarakat gampong mau tidak mau akan bersentuhan dengan petani, segolongan
rakyat yang hidup dari mengolah tanah. Sebagian besar masyarakat gampong adalah
bertani, meskipun ada banyak ragam mata pencaharian lain.
Moratorium Tentara, Selamatkan SDA
20.37
No comments
Di jagat raya ini
hewan yang memakan, secara umum disebut pemangsa. Ada pemangsa yang
menguntungkan, tetapi tidak sedikit yang merugikan. Menguntungkan dan merugikan
itu sering tidak bersifat mutlak, melainkan tergantung pada waktu dan tempat.
Bersahabat Dengan Air
09.04
No comments
Kita seperti sedang membangun sebuah sistem yang mengasingkan hidup dari kehidupan, membuat pemisah antara kita dengan apa yang kita konsumsi. Kita sedang benar-benar menjadi kapitalis sejati. Lalu tanpa kita sadari sesuatu yang sangat kita butuhkan perlahan-lahan menghilang di abad ini.
Mitos Seputar Tambang
09.53
5 comments
Ini adalah soal mitos yang dikembangkan oleh orang-orang
kaya untuk meraup sebanyak mungkin keuntungan dibalik perusahaan-perusahaan
pertambangan yang mereka miliki. Dengan mitos ini, mereka menghancurkan gunung,
sungai dan kampung.
Blue Print Untuk Rakyat
11.39
No comments
Enam puluh satu tahun yang lalu di sebuah kota
kecil San Cristobal, orang-orang yang muak
dengan perilaku penguasa Mexico
membangun sebuah perlawanan rakyat. Sebuah asosiasi revolusioner dibentuk untuk
pemerintahan baru. Tetapi rezim Mexico
mencap mereka sebagai bandit yang harus dihancurkan. Bagi elit pemberontak
Cabanas yang kemudian menjadi legenda sebagai Subcommandante Marcos, “perjuangan
bukan untuk kekuasaan.”
Berbeda dengan apa yang kita saksikan di negeri ini, para
mantan aktivis mahasiswa dan mantan pejuang Aceh seakan sibuk mengkapling
wilayah kekuasaan mereka ditengah banyaknya persoalan mendasar yang belum juga ada
jalan keluarnya.
Ditengah kasak-kusuk soal Pilkada Aceh, ada persoalan penting rakyat yang tidak
mendapat perhatian. Sebagai rakyat, yang kita butuhkan adalah “Kebutuhan Dasar”
yang secara hirarki berupa: Kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup hayati,
kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup manusiawi, dan kebutuhan dasar untuk
memilih.
Kelangsungan hidup yang manusiawi dan derajat kebebasan memilih hanya
mungkin terjadi jika kelangsungan hayati terpenuhi dan terjamin dengan baik.
Itu sebabnya maka kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup hayati adalah yang
paling utama diantara ketiga kebutuhan dasar.
Rakyat merindukan pemimpin yang berprilaku “altruisme”, yaitu pengorbanan
diri untuk mempertahankan kelangsungan hidup sesama, tidak hanya untuk
pribadinya. Jika mereka menjadi pemimpin, mereka bersedia untuk mengorbankan
diri demi keselamatan rakyat.
Rakyat merindukan realitas, dimana terdapat pelayanan yang efektif agar
kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup secara hayati dapat terpenuhi dengan
baik dan merata. Antara lain ada keseriusan dari pemimpin untuk menjaga
keselamatan jiwa rakyat, termasuk ketika terjadi konflik antara pemerintah
dengan masyarakat, konflik antara perusahaan dengan masyarakat. Adanya
pelayanan air minum yang bersih secara merata, kesehatan dan sanitasi, serta
jaminan sosial kepada yang memerlukan.
Perlindungan hukum yang adil merupakan kebutuhan dasar yang membuat rakyat
dapat hidup secara manusiawi. Dengan demikian kesempatan untuk memiliki ideologi,
berfilsafat, berilmu, berseni dan berbudaya merupakan kebutuhan dasar untuk
hidup yang manusiawi.
Kebutuhan pendidikan, pakaian, rumah dan energi sudah sangat awal dalam
perkembangan kebudayaan manusia, tetapi kebutuhan dasar selanjutnya adalah
lapangan pekerjaan. Sebab bagaimanapun juga, lapangan pekerjaan adalah unsur martabat
seseorang.
Yang terakhir adalah kesempatan memilih. Faktor yang mempengaruhi kesempatan
memilih antara lain adalah undang-undang dan peraturan pemerintah, sosial
budaya dan ekonomi. Orang-orang miskin tidak memiliki kebebasan memilih fasilitas hidup
yang lebih baik karena kemampuan ekonomi mereka yang rendah dibandingkan
orang-orang kaya. Kenyataan ini membutuhkan perhatian yang lebih serius dari
pemerintah.
Tiga kebutuhan dasar di atas haruslah menjadi “Blue Print” bagi pembangunan
masa depan Aceh yang lebih baik. Sebagai rakyat kita berharap, siapapun calon
pemimpin Aceh masa depan - haruslah memiliki blue print semacam ini.
Kebun Kayu
13.58
No comments
Dimanakah mencari sumber
kayu legal pasca moratorium logging di Aceh? Kayu impor dan kayu hasil sitaan
tidak sepenuhnya menjawab ketersediaan kayu untuk pembangunan di Aceh secara
terus menerus, sementara itu pembangunan infrastruktur memerlukan bahan kayu yang
tidak sedikit. Kondisi ini telah
menyuburkan praktik-praktik illegal, sebab bagaimanapun juga akan muncul
dualisme kepentingan antara kepentingan pembangunan infrastruktur dengan
penegakan hukum.
Kebutuhan kayu terus meningkat ditengah intensitas kerusakan hutan alam yang juga terus meningkat. Menurut Greenomics Indonesia, hampir 80 persen pemenuhan kayu untuk proyek-proyek pemerintah Aceh berasal dari kayu-kayu illegal. Hasil investigasi Walhi Aceh juga menyebutkan bahwa 70 persen panglong kayu di Aceh memasarkan kayu dari sumber illegal tanpa dokumen resmi, kecuali yang berasal dari perizinan HGU.
Kondisi tersebut akan
sedikit terbantu jika saja ada inisiatif yang melibatkan masyarakat tani dalam
memberdayakan lahan-lahan kosong dan kritis untuk dikembangkan menjadi
pertanian yang bermanfaat. Idenya adalah mengantisipasi dampak dari moratorium
logging dengan mengembangkan “Kebun Kayu”.
Kebun kayu dapat bertujuan
menunjang pertumbuhan industri perkayuan dengan penyediaan bahan baku yang
berkesinambungan, minimal untuk kebutuhan lokal. Disisi lain, kebun kayu juga dapat
meningkatkan potensi lahan, terutama pada lahan-lahan yang selama ini tidak
produktif, seperti areal semak belukar, alang-alang maupun tanah gundul.
Beberapa komunitas masyarakat akan terbantu ekonominya jika program semacam ini
dikembangkan.
Sasarannya adalah
terbentuknya kebun kayu yang diusahakan masyarakat, guna memproduksi atau
memenuhi kayu legal bagi pembangunan secara berkelanjutan.
Tidak seperti Hutan Tanaman
Industri (HTI), kebun kayu tidak memerlukan proses administrasi dan prosedur
yang rumit dan dapat dikembangkan di lahan pribadi atau sewaan, bahkan dengan
mekanisme pembagian hasil antara pemilik lahan dengan pengelola, pekerja dan investor
dengan persentase pembagian hasil yang disepakati bersama.
Beberapa jenis kayu dan daur
dapat diarahkan menurut tujuan usaha. Untuk tujuan usaha kayu pertukangan,
daurnya antara 10 tahun sampai dengan 30 tahun, dengan jenis kayu meranti (marga
Shorea), jati, mahoni, jabon merah dan lain-lain. Jenis ini biasanya diminati
oleh industri Vancer dan plywood kayu gergajian.
Untuk tujuan usaha kayu
serat, daurnya antara 6 tahun sampai dengan 20 tahun dengan jenis kayu jabon
putih, Pinus merkussi, Albizzia
falcataria dan lain-lain. Jenis ini biasanya diminati oleh industri pulp dan
fiber board.
Untuk tujuan kayu energi,
daurnya 5 tahun dengan jenis kayu Gamal, Acacia dan lain-lain. Jenis ini
biasanya diminati oleh industri arang dan kayu bakar.
Perkembangan industri
furniture di tanah air menyebabkan beberapa jenis kayu serat dapat diolah
sebagai mebel, seperti jenis kayu jabon putih yang sekarang juga mulai dilirik
oleh industri pertukangan. Sering terdapat keadaan yang berbeda seiring dengan
langkanya bahan kayu.
Nah, tunggu apalagi?
Bukankan kebun kayu dapat menjadi
leading sector (sektor utama) pemenuhan bahan kayu yang menjanjikan, ditengah
kegamangan pemerintah dalam mencari sumber-sumber resmi pemenuhan kayu legal
bagi pembangunan Aceh pasca moratorium logging?
Sebagai rakyat, kita perlu
ingat bahwa dalam banyak hal; rakyat jugalah yang dapat memberikan solusi
alternatif bagi keberlangsungan kehidupan di negeri ini. Sebab elit politik
terlalu sibuk mengurus partai politik dan diri mereka sendiri, sehingga lupa
terhadap persoalan substansial yang tengah dihadapi bangsa ini.
Petani Di Tepi Jurang
22.10
No comments
Apa yang dapat dilakukan ketika petani-petani di desa telah
mengeluhkan matahari yang tampak lebih panas dari biasanya? Ketika hujan tidak
lagi datang tepat pada waktu yang mereka harapkan?
Implikasi bagi keberlanjutan pertanian tidak terlepas dari
kecendrungan orientasi elit politik yang hanya memiliki sedikit rancangan dan
penelitian terhadap nasib pertanian negeri ini di masa depan. Berbagai program
yang mereka usung bahkan tidak memiliki relevansi dengan kepentingan dan
praktek utama pertanian yang berkelanjutan.
Pembangunan di sektor pertanian hanya diarahkan oleh tekanan
politik untuk mengutamakan produktivitas
jangka pendek semata dan justru mengesampingkan dampak lingkungan di masa
depan. Dampak jangka panjang terhadap kesuburan tanah, kemampuan regenerasi
vegetasi dan kesehatan para petani belum mendapat perhatian.
Petani-petani di desa telah setengah mati tergantung kepada benih
hibrida, pupuk dan pestisida kimia buatan. Sistem pertanian semacam ini sangat
berorientasi pasar global dan membutuhkan modal yang besar. Petani-petani
miskin telah dihadapkan ke “tiang gantungan” yang mencekik, yang menyebabkan
mereka sangat tergantung untuk membeli benih, pupuk, pestisida dan imput
lainnya yang serba mahal.
Inilah situasi sulit yang sedang dialami para petani di
desa. Biasnya adalah ketidakadilan kesejahteraan bagi petani yang berlahan
sempit dan miskin. Mereka tergilas oleh tidak terjangkaunya peningkatan harga
pupuk kimia buatan. Sementara itu, harga produksi pertanian tidak menentu dan
cenderung rendah ditingkat produsen. Lagi-lagi yang diuntungkan adalah para supplier
benih hibrida, pupuk dan pestisida kimia buatan.
Ketergantungan yang semakin meningkat terhadap pupuk dan
pestisida kimia buatan tanpa disadari telah mencemari sungai dan air tanah
dalam tingkat yang tidak pernah dihitung secara berkala, yang tentu saja
membahayakan kesehatan para petani itu sendiri dan masyarakat pengguna sumber
daya air disekitarnya.
Para petani di negeri ini tampaknya sedang dipaksa masuk ke
dalam bahaya besar karena terjebak hutang ketika mereka diberikan akses kredit.
Mereka mungkin akan terjebak oleh bujukan “rentenir resmi” lembaga-lembaga
keuangan pemerintah lokal dan nasional yang seolah-olah membantu untuk mengikat diri kepada kredit demi investasi
modal yang tinggi lewat metode produksi yang mengharuskan penggunaan benih
hibrida, pupuk dan pestisida kimia buatan. Namun pada saat yang sama, ketika
harga benih hibrida, pupuk dan pestisida kimia buatan itu meningkat, harga
produk pertanian justru dipertahankan pada tingkat yang rendah oleh pemerintah,
ditambah lagi oleh membanjirnya produk pertanian impor bersubsidi di pasar
setempat.
Adakah inisiatif bijak dan alternatif yang sedang ditawarkan
elit politik ditengah hiruk-pikuk perebutan konstituen yang justru didominasi
kaum tani?
Sebagai rakyat saya ingin mengajukan beberapa inisiatif pada
tataran yang berbeda.
Pada tataran pengambil kebijakan publik; jadikanlah
pengetahuan lokal sebagai sumber informasi penting tentang sistem pertanian,
terutama praktek tradisional yang mulai ditinggalkan. Dalam kerangka holistik yang
mengintegrasikan berbagai disiplin ilmiah dan berorientasi ekologis, ada banyak
teknologi pertanian tradisional yang bisa memberikan masukan penting pada
pertanian yang berkelanjutan.
Ada banyak sumber informasi yang dapat digunakan untuk
membangun pertanian berkelanjutan yang bisa diperoleh dari pengalaman petani
yang keberanian dan kreativitasnya dalam mengembangkan teknologi pertanian
seringkali diabaikan oleh para peneliti dan balai-balai penelitian dan sering
dianggap tidak relevan oleh kalangan akademisi yang ada.
Pada tataran petani; secara perlahan-lahan, cobalah
melepaskan diri dari “jeratan mematikan” penggunaan benih hibrida, pupuk dan
pestisida kimia buatan yang terus-terusan mahal itu. Hanya petani sendirilah yang bisa mengambil
keputusan untuk mengurangi pencemaran dan biaya mahal dengan menerapkan
tehnik-tehnik bertani yang lebih ramah lingkungan dan manusiawi.
Akhirnya, penting untuk mengembangkan agroekologi untuk
mengkonservasikan sumber daya alam, meningkatkan produktivitas dalam jangka
panjang demi menghindari bencana ekologis. Jika tidak, maka Pak Tani kita akan
berada di tepi jurang.
World Trade Restorasi
14.08
No comments
Tujuh tahun yang lalu, kayu-kayu Meranti dan Merbau yang berasal dari hutan Sumatera, Kalimantan dan Papua ditemukan di pasar kayu Cina, Afrika, Malaysia dan Singapura. Padahal Pemerintah Indonesia secara resmi telah melarang penebangan kayu jenis Meranti dan Merbau, karena kedua jenis kayu tersebut sudah terbilang langka.
Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 98 juta meter kubik tumpukan kayu Meranti dan Merbau asal Indonesia itu ditemukan menumpuk di RRC, yang diperkirakan mampu menutupi kebutuhan industri negara itu hingga 15 tahun.
Di negara Tirai Bambu itu, memang pemerintahnya juga telah melarang penebangan hutan alam, namun Cina cerdik untuk segera menumpuk kayu ilegal dari Indonesia.
Malaysia yang menjadi negara tetangga dekat Indonesia juga memiliki peran dalam menampung kayu dari hasil praktek illegal logging di Indonesia. Namun, pemerintah Malaysia tidak bersedia dituding sebagai negara penampung kayu haram dengan alasan sederhana, yaitu sepanjang perusahaan kayu di Malaysia membayar pajak ke negaranya. Meskipun perusahaan kayu Malaysia membeli lewat cara curang, hal itu bukan menjadi urusan negaranya dan itu tidak bisa dikatakan perusahaan ilegal.
Indonesia memiliki puluhan juta hektar lahan rusak akibat praktek pengelolaan yang tidak lestari. Lebih separuh dari kayu-kayu hutan Indonesia telah raib ke luar negeri. Pencurinya adalah Pemerintah Indonesia sendiri lewat oknum pejabat negara yang gampang disuap. Sejumlah "cukong" kayu bisa bekerja sama dengan baik untuk saling meloloskan kayu-kayu ke luar negeri.
Dua hari yang lalu, dimulai dari 12 September 2011 - Environmental Leadership & Training Initiative, sebuah program gabungan antara Yale School of Forestry & Environmental Studies dan The Smithsonian Tropical Research Institute, yang bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor dan Tropenbos-Indonesia. Mensponsori konferensi yang membahas beberapa pendekatan teknologi restorasi yang lebih inovatif dan memungkinkan untuk dilakukan di Indonesia dan wilayah Asia-Pasifik, serta membahas lebih lanjut penerapannya di Indonesia setelah beberapa program restorasi hutan Indonesia sebelumnya dianggap gagal. Konferensi ini diadakan di Indonesia.
Sikap Indonesia mengundang Singapura dalam konferensi itu mengundang pertanyaaan yang menggelitik bagi saya, ditengah sikap dunia yang belum mengambil tindakan terhadap pasar internasional bagi negara penampung kayu ilegal dari Indonesia.
Sepuluh negara yang ikut dalam konferensi internasional restorasi hutan itu adalah USA, Philippines, Indonesia, Britain, Australia, Costa Rica, Germany, Nigeria, Sri Lanka, dan Singapore.
Sebagai rakyat, Saya tidak mengerti apakah Indonesia ingin belajar dari dari kelihaian dan keculasan Singapura berada di posisi 15 besar negara pengekspor sumber daya alam dengan rangking 14 versi World Trade Organization pada 2010 yang lalu? Predikat ini tentu prestisius bagi Singapura yang hanya menyisakan hutan alam seluas sekitar 3.043 hektar.
Dalam laporan bertajuk "World Trade Report 2010" itu nama Indonesia yang sisa hutan alamnya lebih luas dari Singapura ternyata sama sekali tidak tercantum. Ekspor kayu dicantumkan WTO sebagai salah satu komponen sumber daya alam dalam laporan itu.
Sponsor Utama ELTI (Environment Leadership Training Initiative) yang berpusat di Yale Amerika Serikat dan memiliki kantor di Singapura ini patut "dipantau" (saya tidak menggunakan kata "dicurigai") ditengah besarnya kebutuhan biaya restorasi hutan Indonesia.
Mega kolaboratif ELTI, Tropenbos Indonesia, Departemen Kehutanan dan IPB, memukau bayak orang karena mampu menghadirkan 300 individu dari 10 negara dalam Konferensi International Restorasi Hutan Untuk Masyarakat,di IPB Convention Center.
Lima belas tahun mendatang kita berharap akan terpukau melihat lebatnya hutan Indonesia dari mega proyek restorasi ini, asalkan dana proyek tidak ditilep dan dibawa kabur pejabat nakal ke Singapura.
Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 98 juta meter kubik tumpukan kayu Meranti dan Merbau asal Indonesia itu ditemukan menumpuk di RRC, yang diperkirakan mampu menutupi kebutuhan industri negara itu hingga 15 tahun.
Di negara Tirai Bambu itu, memang pemerintahnya juga telah melarang penebangan hutan alam, namun Cina cerdik untuk segera menumpuk kayu ilegal dari Indonesia.
Malaysia yang menjadi negara tetangga dekat Indonesia juga memiliki peran dalam menampung kayu dari hasil praktek illegal logging di Indonesia. Namun, pemerintah Malaysia tidak bersedia dituding sebagai negara penampung kayu haram dengan alasan sederhana, yaitu sepanjang perusahaan kayu di Malaysia membayar pajak ke negaranya. Meskipun perusahaan kayu Malaysia membeli lewat cara curang, hal itu bukan menjadi urusan negaranya dan itu tidak bisa dikatakan perusahaan ilegal.
Indonesia memiliki puluhan juta hektar lahan rusak akibat praktek pengelolaan yang tidak lestari. Lebih separuh dari kayu-kayu hutan Indonesia telah raib ke luar negeri. Pencurinya adalah Pemerintah Indonesia sendiri lewat oknum pejabat negara yang gampang disuap. Sejumlah "cukong" kayu bisa bekerja sama dengan baik untuk saling meloloskan kayu-kayu ke luar negeri.
Dua hari yang lalu, dimulai dari 12 September 2011 - Environmental Leadership & Training Initiative, sebuah program gabungan antara Yale School of Forestry & Environmental Studies dan The Smithsonian Tropical Research Institute, yang bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor dan Tropenbos-Indonesia. Mensponsori konferensi yang membahas beberapa pendekatan teknologi restorasi yang lebih inovatif dan memungkinkan untuk dilakukan di Indonesia dan wilayah Asia-Pasifik, serta membahas lebih lanjut penerapannya di Indonesia setelah beberapa program restorasi hutan Indonesia sebelumnya dianggap gagal. Konferensi ini diadakan di Indonesia.
Sikap Indonesia mengundang Singapura dalam konferensi itu mengundang pertanyaaan yang menggelitik bagi saya, ditengah sikap dunia yang belum mengambil tindakan terhadap pasar internasional bagi negara penampung kayu ilegal dari Indonesia.
Sepuluh negara yang ikut dalam konferensi internasional restorasi hutan itu adalah USA, Philippines, Indonesia, Britain, Australia, Costa Rica, Germany, Nigeria, Sri Lanka, dan Singapore.
Sebagai rakyat, Saya tidak mengerti apakah Indonesia ingin belajar dari dari kelihaian dan keculasan Singapura berada di posisi 15 besar negara pengekspor sumber daya alam dengan rangking 14 versi World Trade Organization pada 2010 yang lalu? Predikat ini tentu prestisius bagi Singapura yang hanya menyisakan hutan alam seluas sekitar 3.043 hektar.
Dalam laporan bertajuk "World Trade Report 2010" itu nama Indonesia yang sisa hutan alamnya lebih luas dari Singapura ternyata sama sekali tidak tercantum. Ekspor kayu dicantumkan WTO sebagai salah satu komponen sumber daya alam dalam laporan itu.
Sponsor Utama ELTI (Environment Leadership Training Initiative) yang berpusat di Yale Amerika Serikat dan memiliki kantor di Singapura ini patut "dipantau" (saya tidak menggunakan kata "dicurigai") ditengah besarnya kebutuhan biaya restorasi hutan Indonesia.
Mega kolaboratif ELTI, Tropenbos Indonesia, Departemen Kehutanan dan IPB, memukau bayak orang karena mampu menghadirkan 300 individu dari 10 negara dalam Konferensi International Restorasi Hutan Untuk Masyarakat,di IPB Convention Center.
Lima belas tahun mendatang kita berharap akan terpukau melihat lebatnya hutan Indonesia dari mega proyek restorasi ini, asalkan dana proyek tidak ditilep dan dibawa kabur pejabat nakal ke Singapura.
Hmmm.... Sebab restorasi hutan jangan cuma dagangan. Sebab rakyat di negeri ini juga sudah "lelah" diperdagangkan dalam "tema-tema" yang selalu membingkai nama mereka.
|Afrizal Akmal|.
Menabung Pohon
21.42
2 comments
Orangtua berperan penting dalam mengajak anak untuk mencintai pohon. Jadikan menanam pohon menjadi gaya hidup anak-anak kita. Selain menyehatkan, merawat pohon dengan tangan mereka sendiri juga dapat menanamkan rasa cinta pada lingkungan hidup.
Jika tidak memiliki tempat yang luas untuk membangun nursery, cobalah siasati dengan membuat greenhouse mini di beranda atau teras rumah sekalipun dengan pot atau polibag.
Saya sendiri sedang mengajari anak untuk mencintai pohon jabon. Mulai dari menyemai, menanamnya di kebun sampai dengan merawatnya. Lebih dari itu, saya berharap kelak pohon-pohon ini akan menjadi tabungan bagi mereka saat tumbuh menjadi dewasa. Cara menabung semacam ini (menabung pohon) menjadi gaya hidup baru di keluarga kami.
Pohon-pohon jabon akan memberikan keuntungan yang istimewa pada tahun ke enam. Jika anak kita berusia tiga tahun pada saat menyemai benih jabon, maka pada ulang tahunnya yang ke sembilan dia sudah dapat memanen tabungannya sendiri dari investasi hijau ini. Sebuah kado ulang tahun yang sangat istimewa. Insyaallah....
Sebagai catatan, pohon jabon siap dipanen ketika sudah berumur 5 atau 6 tahun setelah tanam. Lingkungan sehat, anak-anak kita juga menjadi sehat.... Semoga.!
|Afrizal Akmal, 2011|.
Restorasi Hutan
18.22
No comments
Ketika manusia datang, hutan-hutan menjadi gundul. Ketika manusia-manusia itu pergi, maka pohon-pohon kembali tumbuh dan hutan pun menjadi asri kembali. Lain halnya dengan satwa, sebagai pollinator - satwa melalui kotorannya akan mengecambahkan biji-biji pohon yang dimakan menjadi pohon-pohon muda. Tidak hanya menumpuhkan pohon, satwa-satwa itu sekaligus berperan membantu polinasi (penyerbukan) dan penyebaran benih tanaman dalam sebuah ekosistem
Pesta Pasir Serdadu
04.35
No comments
Mungkin inilah kolonialisme yang mereka anggap sah, ketika para serdadu dengan rakus merengguk pasir sambil menghalalkan kebakhilan mereka atas sumber daya alam Aceh di sungai-sungai yang tak lagi jernih. Mereka boleh melanggar hukum, memonopoli gunung dan sungai. Begitulah kekuasaan mereka di negeri ini, tak terhitung lagi berapa kubik kekayaan dari tambang-tambang pasir yang telah mereka kuras.
Kekayaan sumber daya alam Aceh begitu mudah berpindah tangan. Pejabat militer ramai-ramai korup. Demikian berkuasanya perusahaan milik serdadu di Krueng Jreue Aceh Besar adalah contoh kecil dari banyaknya kasus lain yang tidak terungkap dan mampu diredam dengan kekerasan.
Fakta ini menjadi jelas ketika ditemukan alat-alat berat milik serdadu dilokasi galian C di Krueng Jreue Aceh Besar oleh Walhi Aceh pada Agustus 2011 lalu . Anehnya, entah dari mana mereka mendapat surat izin "hantu" untuk usaha penumpukan material galian C itu.
Sungguh tak dapat diabaikan juga bahwa kasus seperti ini adalah konsekuensi dari kolonisasi serdadu yang semakin kuat pasca perang di Aceh. Mereka tidak membayar pajak...Sama seperti dimasa-masa perang, para serdadu memiliki dan membeking berbagai perusahaan tambang dan kayu hutan.
Sebagai rakyat, tentu saja kita marah ditengah ongkos hidup yang terus naik. Tetapi tanpa persetujuan kita pun, praktik-praktik semacam itu mungkin akan terus berlangsung dan tak ada tanda-tanda akan berakhir. Ditangan kekuasaan, fakta semacam ini bisa saja menjadi sampah dan diabaikan. Silahkan menganalisa!
|Afrizal Akmal, 2011|.
Kekayaan sumber daya alam Aceh begitu mudah berpindah tangan. Pejabat militer ramai-ramai korup. Demikian berkuasanya perusahaan milik serdadu di Krueng Jreue Aceh Besar adalah contoh kecil dari banyaknya kasus lain yang tidak terungkap dan mampu diredam dengan kekerasan.
Fakta ini menjadi jelas ketika ditemukan alat-alat berat milik serdadu dilokasi galian C di Krueng Jreue Aceh Besar oleh Walhi Aceh pada Agustus 2011 lalu . Anehnya, entah dari mana mereka mendapat surat izin "hantu" untuk usaha penumpukan material galian C itu.
Sungguh tak dapat diabaikan juga bahwa kasus seperti ini adalah konsekuensi dari kolonisasi serdadu yang semakin kuat pasca perang di Aceh. Mereka tidak membayar pajak...Sama seperti dimasa-masa perang, para serdadu memiliki dan membeking berbagai perusahaan tambang dan kayu hutan.
Sebagai rakyat, tentu saja kita marah ditengah ongkos hidup yang terus naik. Tetapi tanpa persetujuan kita pun, praktik-praktik semacam itu mungkin akan terus berlangsung dan tak ada tanda-tanda akan berakhir. Ditangan kekuasaan, fakta semacam ini bisa saja menjadi sampah dan diabaikan. Silahkan menganalisa!
|Afrizal Akmal, 2011|.
Kamus Bohong Pak Menteri
06.15
No comments
Hanya berselang sebelas hari pelaksanaan moratorium hutan, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan melanggar Inpres Nomor 10 Tahun 2011 itu lewat keputusan alih fungsi kawasan hutan konservasi. Namun pemerintah, melalui Dirjen Planologi Kehutanan Bambang Soepijanto berdalih bahwa perubahan fungsi hutan tak menyalahi moratorium. Apakah ini merupakan struktur kebohongan yang terorganisir?
Sebagai rakyat, kita sering kali dibuat bingung oleh segala macam kebijakan pemerintah yang menurut saya bisa disebut the greats liers atau pembohong-pembohong hebat. Meskipun terkadang kita sadar sedang dibohongi, tetapi tetap mengikutinya.
Bangsa ini sedang membangun sebuah struktur kebohongan (Structure of Organized Lying), sebuah bangunan dusta yang sangat canggih. Jadi setiap kebohongan akan didukung oleh kebohongan lainnya.
Kalau kita cermati pidato para pejabat di institusi formal negara, kita akan menemukan sejumlah kata-kata yang artinya berbeda dengan yang kita pahami. Contohnya, janji Sekretaris Kabinet Dipo Alam, yang menyebutkan bahwa pejabat yang melanggar Inpres Moratorium akan diberi sanksi.
Karena sudah kadung dituding melanggar, lalu mereka mencari-cari pembenaran dengan membuka kamus bohong. Lalu muncullah pernyataan pembelaan dari mereka, ”Perubahan fungsi hutan, kan boleh. Yang tidak boleh dalam (inpres) moratorium itu izin baru di hutan primer dan lahan gambut,” kata pak Dirjen Planologi.
Mereka sangat rajin untuk mencari celah-celah pada berbagai peraturan demi berkelit dari jeratan hukum (loop holes). Kreatifitas mereka dalam mencari celah dari berbagai peraturan, dapat melepaskan mereka dari konsekuensi peraturan itu. Kita sebut saja ini sebagai institutionalized evasion of rules (penghindaran peraturan yang terlembagakan).
Dengan kacamata seperti itu, semuanya menjadi benar. Kalau kita menggunakan kamus kita, kita akan menjadi bingung dan keliru. Kata-katanya, fasiologinya dan kosakatanya berbeda jauh dengan apa yang kita pahami. Agar tidak bingung , maka kita harus rajin-rajin membuka kamus mereka, yaitu “kamus bohong”. Hiiii….
Sebagai catatan, Inpres tentang moratorium sebenarnya tidak memasukkan komponen pengubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan sebagai pengecualian. Pengecualian moratorium pada program pertanian padi dan tebu, panas bumi, minyak bumi dan gas, serta kelistrikan. Tapi kenyataannya kawasan konservasi dan hutan lindung yang diubah fungsinya itu ternyata mayoritas berupa kebun-kebun sawit dan hak pengusahaan hutan. Silahkan menganalisa!
Schizophrenia
22.34
No comments
Mengapa perubahan sosial di negeri ini seperti terhambat dan tidak dapat diharapkan? Mengapa kerusakan hutan, pencurian kayu di hutan lindung yang melibatkan aparat penegak hukum, pencemaran lingkungan dan konflik pertambangan dengan masyarakat terus berlanjut? Apa yang sesungguhnya sedang terjadi
Aceh Dalam Mitos Pembangunan
02.10
1 comment
Aceh adalah salah satu contoh negeri bekas bencana yang terjebak dalam cengkraman sumber daya yang klasik. Alasan membangun kembali negeri yang luluh lantak akibat perang dan tsunami, telah memudahkan sistem yang mengeksploitasi sumber daya alam, seraya merusak moral birokrat dan politisi lokal dalam persekongkolan mereka dengan Bank Dunia dan lembaga keuangan asing.
Kekayaan sumber daya alam telah menarik minat asing untuk bersiasat. Rumus jitunya adalah menghidupkan perekonomian negeri ini dan memberikan peluang kerja bagi rakyat. Namun hikayat pertambangan tidak selalu indah seperti yang dimimpikan, sebab di balik limpahan uang itu - pertambangan dapat menyimpan potensi kerusakan alam yang sangat dahsyat.
Investasi atas berbagai kegiatan korporatokrasi, belum pernah diberitakan secara luas kepada penduduk lokal dan dengan sengaja menyembunyikan kisah-kisah tragis agar tidak menyentuh publik. Kebijakan jangka panjang telah dirancang untuk menjarah kekayaan sumber daya alam Aceh dengan mengorbankan rakyatnya, meski pun beberapa program terkesan membantu.
Dikalangan birokrat Aceh, mitos pembangunan terus saja dihidupkan. Mitos yang menggambarkan keterbelakangan penduduk lokal yang harus segera di tolong dengan berbagai program pemberdayaan masyarakat lewat dana lembaga keuangan asing. Mitos inilah yang dipakai untuk memberikan kesempatan kepada 109 perusahaan tambang dengan berbagai kepentingannya. Ilusi bahwa perusahaan tambang bisa menerapkan prinsip-prinsip Good Mining Practices, terus saja menjadi pembenaran.
Perusahaan-perusahaan tambang itu, oleh para birokrat dilukiskan sebagai organisasi pemberi pekerjaan kepada penduduk lokal. Akan tetapi publisitas semacam itu adalah masker wajah yang menutupi niat mereka yang sesungguhnya.
Tambang adalah jebakan kematian. Rakyat Aceh harus menyelamatkan diri dengan menata hidup bagi kelangsungan generasi berikutnya. Selamatkan tanah indatu dari tambang, mari menggugat setiap rezim yang bersekutu dalam kepentingan korporatokrasi, sebelum datang kengerian dari kematian akibat tambang. Silahkan menganalisa!
Ruengkhom
17.50
No comments
Saya dikejutkan oleh teriakan istri tetangga. Pasalnya ikan yang baru saja ia letakkan di atas meja di bawa lari oleh kucing jantan yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Beberapa waktu yang lalu, Abdul Wahab berumur 40 tahun, warga Desa Lhok Bot, Kecamatan Setia Bakti, Aceh Jaya, kritis setelah kaki kiri, punggung, tangan, dan bahunya di terkam seekor buaya saat ia menjala ikan di sungai kampung itu.
Perilaku kedua binatang tersebut di dalam bahasa Aceh disebut "Ruengkhom", yang berarti “memangsa” atau merebut sesuatu dengan cara terang-terangan sambil menunggu kelengahan. Ikan di atas meja berhasil di rebut oleh seekor kucing dengan memanfaatkan kelengahan si istri tetangga. Kelengahan Abdul Wahab saat menjala ikan menyebabkan dia menderita dimangsa buaya.
Dalam ruang hidup yang lain, kita sering menemukan realitas dimana sesuatu yang kita miliki dengan begitu mudah berpindah tangan atau direbut oleh pihak lain. Sebut saja persoalan perebutan sumber daya alam yang kita miliki, sering kali kehilangan disebabkan oleh kelengahan kita sendiri. Untuk yang ini predatornya bukan kucing jantan, bukan pulan buaya sungai. Lebih dari itu, kita sering kehilangan sumber daya alam kita sendiri karena di rebut oleh binatang kapital lewat pasar global yang mereka ciptakan. Kapitalisme multinasional, oleh Lenin disebut dengan imperialisme.
Dalam buku berjudul “Telikungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia,” Hasyim Wahid menjelaskan secara gamblang bagaimana pengaruh dan intervensi kapitalisme global dengan berbagai kelicikan dan kecerdikannya telah mewarnai perjalanan bangsa dan negara Indonesia.
Dalam amatan saya, gambaran kontradiksi kapitalisme dengan lingkungan hidup semakin kontras ketika negara berkembang menerima mentah-mentah mekanisme yang diajukan oleh negara maju dalam soal dampak ekologi dari kegiatan-kegiatan industri mereka. Imperialisme berkedok ekologi memenangkan peran dalam sistem kapitalisme global, yang ditandai dengan terus berlangsungnya perampasan sumber daya alam oleh negara maju terhadap negara berkembang seperti Indonesia.
Carbon trade yang pada awalnya dimaksudkan untuk memberi nilai dan harga bagi jasa hutan hujan tropis, kini berubah menjadi inisiatif jahat dan siasat jitu para jakal carbon trade. Program Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD), program kerja sama antara UNDP, FAO, dan UNEP pada kenyataannya tidak menyentuh akar masalah untuk menghentikan laju perusakan hutan di Indonesia, khususnya Aceh sebagai salah satu kawasan tempat berlangsungnya uji coba REDD. Program lain yang hampir serupa adalah carbon offsets dan carbon tax.
Skema geopolitik kapitalisme yang mengendarai Protokol Kyoto tampaknya juga menyerupai belenggu bagi solusi krisis lingkungan hidup global. Protokol itu tidak lain hanyalah pengintegrasian logika pasar semata dengan capaian kompromi yang teramat lunak demi memajukan kepentingan utama kapitalis.
Sebagai rakyat, kita sering lengah hingga sumber daya alam kita menjadi lahan empuk yang siap dimangsa kapan saja mereka mau.
Sepinya Kampung
14.08
No comments
Ada gejala yang terus berkembang dalam masyarakat kita, terutama dikalangan sarjana yang baru lulus dari perguruan tinggi dan baru memulai untuk masuk kedalam ujian kehidupan yang sesungguhnya setelah berhasil lulus dari ujian akademik, yaitu sebuah gejala yang cenderung mencitrakan realitas kehidupan kota ketimbang kehidupan kampung
Perempuan Di Lapak Kota
02.34
No comments
Pukul dua siang, matahari terik di Kutaradja. Bedebah bersepatu laras menerbangkan mimpi pedagang kaki lima. Rak-rak dagangan perempuan setengah baya tergusur tanpa ampun. Ini hari sial baginya, dia dituduh mengganggu peradaban kota yang tengah berbenah.
Keringat dingin di jidat membuyarkan impian dan usaha, keletihan mengotori wajahnya. Aku menghentikan sejenak kenderaanku, mencoba menyimak apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Mengapa orang-orang bersepatu laras seperti mereka (Satpol PP) tega bertindak kasar kepada perempuan setengah baya. Segera saja aku dikejutkan oleh klakson dari sebuah mobil yang melaju kencang. Uhh… aku dituduh menghalangi jalannya.
Aku menyingkir ke tepi dan memikirkan kota ini. Kutaradja adalah ibu kota Aceh yang sejak tahun 1962 berganti nama menjadi Banda Aceh. Sebagai pusat pemerintahan, Banda Aceh menjadi pusat segala kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Pemerintah kota menjadikan Banda Aceh sebagai kota Bandar Wisata Islami. Program ini dipertanyakan oleh beberapa kalangan ormas Islam, menyusul banyaknya dibangun lokasi keramaian yang terindikasi dimanfaatkan kalangan remaja dan pemuda sebagai tempat berpacaran. Aku berdiri tegak dan berjalan kembali ke kerumunan pedagang.
Komandan satuan penertiban kota duduk di bangku yang berada dibawah atap layar plastik berwarna biru. Baju dinas mirip serdadu yang berkerut-kerut tampak ganjil ditengah keramaian. Kacamata hitamnya kebesaran, sehingga membuatnya tampak seperti capung.
Kembali ku palingkan pandangan ke arah para perempuan pedagang. Mereka adalah lambang teka-teki keadilan, yang menjadi tertuduh sebagai cendawan peradaban. Meski pun kota menggusurmu dari lapaknya, aku terkesima dengan daya tahanmu berdamai dengan dunia dan merawat hidup agar tetap hidup.
Afrizal Akmal, 2011
Keruntuhan Ekologi Dibalik Fakta Kerakusan Kita
19.43
No comments
Ladiagalaska, Perselingkuhan Asing Dengan Imperium Lokal
18.45
No comments
Diakui atau tidak, setelah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setuju dengan perjanjian damai yang sangat berat sebelah dengan pemerintah Indonesia, tekanan terhadap hutan Aceh cendrung meningkat.
Tanah Bukan Milik Kita Lagi
12.32
2 comments
Apa yang sesungguhnya sedang terjadi dengan tanah rakyat? Mengapa begitu banyak sengketa tanah seringkali tidak terselesaikan?
Yang Terlewatkan
15.00
No comments
Disisi lain, generasi muda petani juga telah kehilangan minat untuk menjadi petani disebabkan kehidupan sebagian besar petani kita saat ini dalam keadaan yang miskin. Hanya petani-petani usia lanjut dan tidak produktif yang masih menekuti pekerjaannya sebagai petani, itu pun sebagai buruh tani dengan kepemilikan lahan rata-rata dibawah seperempat hektar di sawah-sawah yang semakin miskin hara akibat pemakaian pupuk kimia.
Saat berbicara dengan buruh-buruh bangunan di kota, seorang dari mereka menjelaskan dengan ringkas bahwa pekerjaan ini sangat mirip dengan mesin pemeras keringat. Sejak usia delapan belas tahun dia berhenti membantu orangtuanya dari membajak sawah di desa dan pergi ke kota mencari pekerjaan baru, tetapi disini mereka memperoleh upah yang sama buruknya dengan upah bertani di desa.
Aku bertanya apa yang membuat mereka mampu melakukan itu? Aku memperoleh penjelasan-penjelasan yang mencengangkan. Kemiskinan dan penderitaan. Aku rasa, mereka sengsara demi sebuah harga mahal kehidupan banyak orang di kota yang tak bisa berterika kasih. Praktik-praktik perburuhan semacam ini luput dari iklan provit kotanya yang tengah berdagang wisata.
Para mantan petani yang sekarang menjadi buruh bangunan itu telah menjalani hidup getir, setidaknya berusaha bertahan untuk terus hidup, yang tak bisa dibayangkan kebanyakan orang. Tetapi masyarakat elitnya, menikmati kehidupan yang berbeda.
Aku kembali tak percaya, betapa parahnya situasi ini. Situasi yang kebanyakan orang tidak mempedulikannya. Sebuah konsekuensi?
Di Kota Yang Tak Rapi
21.07
No comments
Statistik kota ini yang di atas kertas terlihat mengesankan, ternyata sama sekali tidak memasukkan ongkos besar yang telah ditanggung oleh warganya demi mendapat apa yang dibualkan para ekonom sebagai kemajuan. Siapakah sesungguhnya yang diuntungkan dari pendapatan itu dengan cara picik, menguras keringat begitu banyak buruh murah
Perubahan Perilaku Di Kota Kolonisasi
11.39
No comments
Ada sebuah kota kecil di Aceh, yang pernah menjadi harapan sukses program transmigrasi semasa pemerintahan rezim Soeharto, yaitu “Saree”, kawasan berhutan yang menjadi basis rekayasa kolonisasi,
Mengusap Kejenuhan
14.07
3 comments
Sebuah gerakan mengusik pandanganku, seorang gadis belia di emperan supermarket mengusir lalat yang lahap melalap luka kakinya, dihapusnya luka dengan ujung baju. Wajahnya tertutup debu. Tak ada senyum disana. Aku mengikuti arah matanya. Mataku mulai lembam memahami nasibnya. Aku mengangkat pandangan. Merek supermarket tepat menempel di bangunan tinggi, terdapat tulisan Pante Pirak. Sebuah becak berjok setengah miring perlahan mendekati supermarket, tampak ganjil diantara mobil-mobil pengunjung.
Siang itu Kutardja panas dan gerah. Saat kaki berbalik arah di lintasan depan supermarket, aku hampir tertabrak sepeda motor yang melaju kencang. Sekarang perhatianku beralih kesisi penarik becak yang sedang berjuang susah payah untuk mencari pelanggan, mengejar setoran dan sisanya untuk makan.
Di jalan sana, arus lalu lintas mobil dan motor menyalakkan klakson. Asap kenalpot membuat mual. Lambungku mulai merasakan akibatnya. Keadaan ini benar-benar mempengaruhiku. Aku bertanya-tanya apakah kota ini sudah tercerabut dari moral nenek moyangnya? Bagaimana mungkin orang-orang yang hidup lebih makmur, yang bekerja di institusi-institusi formal negara tega menjarah "kesejahteraan" gadis belia di emperan itu.
Siapakah yang telah merampok kalangan papa dan menyerahkan hasil rampokan kepada kalangan kaya - dari situasi ini? Siapakah yang telah mendapatkan komisi dari semua ini? Bagaimana mereka tega melakukannya? Bagaimana para pejabat di institusi-institusi negara dan orang-orang yang ada dibalik proyek megah kota ini mampu menjalani hidup?
Siapakah yang telah berpandangan bahwa kelas merekalah yang paling pantas menikmati fasilitas hidup, sementara kelas rendahan dicap pemalas dan pantas merasakan kesengsaraan dalam bentuk apa pun. Kelas rendah dan pemalas tak perlu diberi tempat, mereka tak perlu diberikan listrik dan air lading.
Beberapa ribu rupiah aku serahkan untuk pengemudi becak dan memintanya mengantarku pulang. Gadis-gadis kampus yang duduk santai di kursi burger di pinggir trotoar Jalan T. Nyak Arief sedikit menyegarkan mataku, mempesona dan menjadi pengingat bahwa kota ini adalah kota pelajar.
Ditanganku, halaman koran Serambi Indonesia memberitakan, "Penggelapan uang pajak tidak hanya marak terjadi di Jakarta, seperti yang dilakukan Gayus Tambunan dan Bahasyim Asrafi.” Praktek menilap duit pajak juga berlangsung di kota ini. Dua triliun rupiah telah ditilep dalam lima tahun terakhir. Modusnya, dana pajak yang dipotong oleh bendaharawan daerah diendapkan dalam rekening pribadi dan tidak disetor ke kas negara.
Waktu terus bergulir, disini aku merasa bodoh. Gadis belia di emperan, mimpinya singgah di langit. Lukanya disimpan dihati sambil mengusap kejenuhan.
Afrizal Akmal
Afrizal Akmal
Bakong Pulo
16.09
No comments
Hutan Kami Kembali Dijarah
16.33
No comments
Di negeri yang kerap dilanda bencana alam, rombongan kami yang terdiri dari beberapa orang berkunjung ke kediaman seorang penguasa negeri. Beberapa pejabat mempermainkan kami, mereka menyuruh kami untuk melalui pintu belakang yang sempit. Aku berpendapat, “kami seperti sedang mengunjungi ketua penyamun,
Seratus Milyar, Untuk Sebuah "Ketololan"
11.19
3 comments
Culdesac Di Kampanye Earth Hour
09.34
3 comments
Salahkan korban dan lepaskanlah tanggung jawab. Rumus inilah yang juga sedang digunakan pada even tahunan kampanye Earth Hour yang mengajak warga mematikan lampu selama satu jam sebagai kepedulian terhadap bumi. Anehnya, banyak yang mempercayai dan mengikuti ajakan ini.
Padahal emisi di Indonesia atau di negara-negara dunia ketiga bukanlah masalah pemakaian listrik oleh warga. Tetapi jelas-jelas, kausa efisien emisinya adalah bobroknya perilaku negara, atau lebih jelas lagi sifat eksploitatif dari pembangunan yang keliru.
Para aktivis lingkungan juga sering terjebak dalam pembahasan emisi ini. Kesalahan ini disebut dengan cul-de-sac, suatu istilah dalam bahasa Perancis untuk menunjukkan kebuntuan pemikiran. Sesuatu yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dipercayai oleh banyak orang.
Pertanyaannya, apakah dengan mematikan lampu warga, akan mengurangi emisi dari pembangkit-pembangkit besar listrik yang menguapi minyak bumi, batu bara, gas dan energi tak terbaharukan lainnya?
Eksploitasi mineral-mineral itu oleh korporasi asing yang didukung negara di negeri ini juga tidak bisa diperkecil hanya dengan mematikan lampu warga saja bukan?
Korporasi itulah yang seharusya dimatikan dalam kampanye Earth Hour oleh aktivis lingkungan. Merekalah penyebab emisi terbesar di bumi ini.
Orientasi pasar dari kebijakan penyediaan energi yang justru memperparah perusakan alam dari polusi udara dan menghancurkan fungsi-fungsi ekologis kenapa tidak menjadi fokus utama kampanye?
Sebagai warga, kita jangan ikut terjebak dalam kebuntuan perpikir culdesac. Negaralah yang harus bertanggung jawab terhadap kedekatan yang mereka bangun dengan korporasi tambang-tambang mineral itu.
Mari... Matikan korporasi dan tambang-tambang mereka atas sumber daya alam kita.
Salam,
Afrizal Akmal
Negara Makelar
12.05
No comments
Benteng Inong Balee, Sejarah dan Kegigihan Perempuan Aceh
10.34
1 comment
Di tepian laut Selat Malaka, ombak bergemuruh memecah keheningan. Adakalanya laut tenang dan bening menampakkan terumbu karang beraneka warna. Sementara dari atas tebing, batu-batu tersusun berlapis. Dari atas bukit Malahayati ini, pemandangan Selat Malaka sangat indah.
Kadang, aku berdiri dan menatap perahu-perahu nelayan. Ku khayalkan kemasa silam pada abad ke-16 yang lalu, sebuah kapal berbendera Belanda hangus dibakar oleh panah api pasukan Armada Inong Balee. Ku khayalkan juga kegaduhan dari atas kapal Belanda itu ketika seorang Laksamana perempuan Aceh menghunus rencong dengan sekuat tenaga, mencabik tepat dilambung seorang Belanda bejat, orang Belanda pertama yang menemukan jalur rempah-rempah dari Eropa ke Nusantara, Cornelis de Houtman. Kafir itu merenggang nyawa.
Disini, di atas benteng Inong Balee sebagian dinding benteng masih tegak berdiri, namun di beberapa bagian lainnya batu-batu benteng telah berserakan bersama memudarnya kejayaan Kesultanan Aceh. Jadi, apa yang ku lakukan di sini? Ku ajukan pertanyaan ini pada diri ku sendiri. Bayangan Kesultanan mendatangkan rasa tenang dan aneh. Kejayaan Kesultanan Aceh dan obor-obor temaram dari kapal-kapal yang melintasi Selat Malaka di masa itu, kini tinggal sejarah.
Ombak-ombak yang terkadang menghempas tebing di bawah benteng telah membawa ku kembali menuju ke masa silam, ketika perempuan cantik tinggi semampai memimpin pasukan Inong Balee. Ku teduhkan mata dengan telapak tangan diatas alis, untuk memandang lebih jauh ke selat lepas. Ku fahamkan kisah Laksamana perempuan pertama di dunia. Ku fahamkan lesung pipi dan senyum manisnya, ku fahamkan juga lengkingan suara Allahu Akbar dari mulutnya ketika pedangnya berdesing mengayun berhadap-hadapan dengan pasukan musuh.
Dia adalah istri Panglima Armada Selat Malaka, dia menjabat sebagai Komandan Protokol Kerajaan Darul Donya Aceh Darussalam, dia mampu mengatur seluruh kegiatan yang akan dilakukan Sultan dan petinggi-petingginya. Dia mengatur etika dan tata kehidupan di dalam istana, menerima tamu-tamu agung yang akan bertemu dengan Sultan. Dia memiliki wawasan yang luas, pernah menjabat sebagai Kepala Pengamanan Samudra, menumpas perompak di laut. Dia adalah perwira perempuan yang menyelesaikan studi di Ma’had Baitul Maqdis dengan julukan kehormatan. Dia adalah Laksamana Keumalahayati.
Tepat di tempat aku berdiri, di atas bukit ini sisa-sisa benteng Laksamana Keumalahayati masih ada. Benteng ini dibangun oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayyidil Mukammil (1589-1604 M). Benteng ini merupakan pusat pertahanan untuk wilayah perairan Selat Malaka. Selain itu, benteng ini juga digunakan sebagai asrama bagi Laskar Inong Balee, janda yang suaminya gugur di medan perang.
Ku perhatikan bentuk dan posisi benteng persegi panjang menghadap ke barat, mengarah ke Selat Malaka, berfungsi untuk mengawasi setiap kapal asing yang masuk. Sisa-sisa tembok benteng yang masih bisa terlihat dengan jelas berada di bagian barat berupa susunan batu alam berspesi kapur menyerupai tembok yang membujur utara-selatan dan yang membujur timur-barat. Pondasi di bagian timur berukuran panjang sekitar 20 meter. Di bagian barat terdapat tembok dengan ukuran panjang kira-kira 60 meter dan tebal 2 meter, dengan ketinggian 2,5 meter. Di bagian utara terlihat tembok benteng dengan ukuran panjang sekitar 40 meter, tebal 2 meter dan tinggi bagian dalam sekitar 1 meter. Ada 4 lubang pengintaian di tembok yang membujur utara-selatan. Lubang pengintai menyerupai bentuk tapal kuda dengan tinggi lubang bagian luar sekitar 80 hingga 85 centimeter dan lebar 1 meter. Tinggi lubang bagian dalam sekitar 90 centimeter dan lebar 1,6 meter.
Disini aku memetik pelajaran. Sejarah Aceh dipenuhi kegigihan bukan hanya dari kaum laki-lakinya, tetapi juga kaum perempuan. Nun jauh di abad ke 16, perempuan di Aceh telah mendapat tempat dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengambil keputusan penting dalam ketatanegaraan.
Aku berkeliling menikmati alam sekitar. Tak dapat ku tepis kekaguman ku disini, alam Aceh sangat indah. Benteng ini secara administratif berada di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Untuk sampai ke tempat wisata Aceh ini, kira-kira kurang sedikit dari satu jam dengan mengendarai kenderaan atau sekitar 35 Kilometer dari Ibukota Banda Aceh.
Matahari mulai meninggi, aku belum mau beranjak. Aku masih ingin memetik lebih banyak lagi pelajaran tentang sejarah negeri ku, kisah heroik perempuan pejuang Aceh benar-benar pernah ada. Aku ingin berpesan kepada anak-anak ku, “jangan menganggap ini tak pernah ada, rawat dan peliharalah.”
Afrizal Akmal
Buang Saja Buku Itu Ke Keranjang Sampah
11.12
No comments
Jika anda adalah seorang birokrat dan mempunyai buku pedoman teknis manajemen banjir, maka buang saja buku itu ke keranjang sampah, sebab tidak ada gunanya sama sekali. Lupakan saja bab demi bab yang anda pelajari, paragraf demi paragraf yang sebenarnya anda sendiri tidak begitu mengerti.
Prinsip pengendalian banjir, strategi pengendalian banjir, mitigasi ancaman bahaya banjir dan pengawasan banjir yang ada dalam pedoman itu tidak ada artinya bagi rakyat di negeri ini.
Sebagai korban bencana, kami tidak pernah diberitahu tentang bagaimana menganalisa rainfall-runoff relationship antara hujan dan banjir. Setelah terjadi bencana, kami baru mengetahui bahwa di negeri ini ternyata ada kelompok tenaga ahli hidrologi, hidrolika, elektro mekanis, hidrogeologi, geologi teknik dan tenaga ahli lainnya yang berhubungan dengan masalah banjir.
Kami baru mengetahui juga, ternyata di negeri ini ada kelompok tenaga lapangan yang dibentuk pemerintah untuk kegiatan pemantauan.
Lalu apa yang menjadi kendala hingga akhirnya bencana banjir bandang itu meluluhkan kampung halaman kami? Mengapa pedoman teknis manajemen banjir yang dibanggakan itu tidak diterapkan di dunia nyata?
Peralatan hidrologi dan hidrometri, AWLR, ARR dan Extensometer yang dibeli dari uang rakyat itu dimanakah juntrungannya?
Bukannya kami ingin membesar-besarkan aib. Tetapi semua yang diceritakan didalam buku pedoman itu hanya dongeng dan hayalan palsu.
Afrizal Akmal
Prinsip pengendalian banjir, strategi pengendalian banjir, mitigasi ancaman bahaya banjir dan pengawasan banjir yang ada dalam pedoman itu tidak ada artinya bagi rakyat di negeri ini.
Sebagai korban bencana, kami tidak pernah diberitahu tentang bagaimana menganalisa rainfall-runoff relationship antara hujan dan banjir. Setelah terjadi bencana, kami baru mengetahui bahwa di negeri ini ternyata ada kelompok tenaga ahli hidrologi, hidrolika, elektro mekanis, hidrogeologi, geologi teknik dan tenaga ahli lainnya yang berhubungan dengan masalah banjir.
Kami baru mengetahui juga, ternyata di negeri ini ada kelompok tenaga lapangan yang dibentuk pemerintah untuk kegiatan pemantauan.
Lalu apa yang menjadi kendala hingga akhirnya bencana banjir bandang itu meluluhkan kampung halaman kami? Mengapa pedoman teknis manajemen banjir yang dibanggakan itu tidak diterapkan di dunia nyata?
Peralatan hidrologi dan hidrometri, AWLR, ARR dan Extensometer yang dibeli dari uang rakyat itu dimanakah juntrungannya?
Bukannya kami ingin membesar-besarkan aib. Tetapi semua yang diceritakan didalam buku pedoman itu hanya dongeng dan hayalan palsu.
Afrizal Akmal
Parpol di Lokasi Bencana
12.25
No comments
Bencana telah menjadi rutinitas di negeri ini. Perasaan miris menyelimuti para pengungsi dan masyarakat luas. Simpati, empati dan segala bentuk komitmen sosial lainnya juga ikut diberikan. Para dermawan dari berbagai latar belakang sosial, dari Instansi pemerintah, TNI, LSM, lembaga paguyuban, masyarakat biasa, artis hingga partai politik.Mereka memberikan bermacam-macam bantuan, baik berupa uang tunai maupun sembako.
Yang terlihat kontras adalah kelompak penderma dari partai politik, mereka berlomba memasang bendera parpol masing-masing. Maka tidak ada salahnya jika kita ikut beropini, "apakah kehadiran mereka benar-benar ingin memberikan empati kepada para korban bencana, ataukah ada kepentingan tertentu yang lebih besar?" Apalagi parpol juga sangat getol berfoto ria atau berharap diliput oleh televisi dengan latar belakang objek bencana.
Jika opini ini benar, maka bencana alam telah datang pada saat yang tepat dan sebuah keberuntungan bagi para politikus untuk menebar pesona politiknya, sebab tidak lama lagi mereka akan berkontes ria di panggung pilkada.
Sebagai masyarakat biasa, kita juga masih berharap bahwa kepedulian mereka disaat bencana tidak berhenti begitu saja. Semoga kepedulian mereka terhadap rakyat bisa terus diwujudkan. Bahwa ada maksud tertentu atau ada kepentingan tertentu, biarlah kita serahkan kepada Yang Maha Tahu, yaitu Allah.
Wallahu'alam...
Afrizal Akmal
Yang terlihat kontras adalah kelompak penderma dari partai politik, mereka berlomba memasang bendera parpol masing-masing. Maka tidak ada salahnya jika kita ikut beropini, "apakah kehadiran mereka benar-benar ingin memberikan empati kepada para korban bencana, ataukah ada kepentingan tertentu yang lebih besar?" Apalagi parpol juga sangat getol berfoto ria atau berharap diliput oleh televisi dengan latar belakang objek bencana.
Jika opini ini benar, maka bencana alam telah datang pada saat yang tepat dan sebuah keberuntungan bagi para politikus untuk menebar pesona politiknya, sebab tidak lama lagi mereka akan berkontes ria di panggung pilkada.
Sebagai masyarakat biasa, kita juga masih berharap bahwa kepedulian mereka disaat bencana tidak berhenti begitu saja. Semoga kepedulian mereka terhadap rakyat bisa terus diwujudkan. Bahwa ada maksud tertentu atau ada kepentingan tertentu, biarlah kita serahkan kepada Yang Maha Tahu, yaitu Allah.
Wallahu'alam...
Afrizal Akmal
Mengganti Mie Instan Dengan Sagu Untuk Pengungsi Bencana Alam
12.48
1 comment
Kita tentu prihatin saat melihat secara langsung kondisi masyarakat pengungsi bencana alam, apalagi di banyak tempat pengungsi diisi oleh anak-anak, balita dan para lanjut usia. Cuaca yang tidak menentu dan berubah-ubah seperti hujan dan panas juga akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan anak-anak dan balita, apalagi tenaga medis yang tersedia sangat terbatas.
Begitu juga dengan makanan yang diperoleh dari para dermawan, kebanyakan makanan yang diperoleh berupa mie instan. Ini adalah hal serius yang sering dilupakan dan perlu mendapat perhatian. Padahal dalam kondisi normalpun, mie intsan adalah makanan yang tidak baik untuk kesehatan, apalagi dalam kondisi darurat - dimana kondisi ketahanan tubuh para pengungsi dalam keadaan labil.
Bagaimanapun mie instan tidak bisa menggantikan makan penuh (wholesome food) dan tidak boleh di konsumsi secara terus menerus karena berakibat sangat buruk bagi kesehatan - disebabkan kandungan zat (campuran dalam pembuatan ) mie instan. Disamping itu mie instan tidak memenuhi kebutuhan gizi seimbang bagi tubuh . Walaupun di dalam mie instan terdapat kandungan karbohidrat dalam jumlah besar tetapi kandungan vitamin, mineral maupun protein yang ada didalamnya sangat sedikit.
Untuk itu, maka perlu dicari makanan alternatif yang murah dan mudah didapat. Salah satunya adalah sagu. Sagu adalah butiran yang diperoleh dari teras batang pohon sagu atau rumbia (Metroxylon sago Rottb.)
Tepung sagu kaya dengan karbohidrat (pati) dan mengenyangkan dalam tempo yang lama, meskipun sangat miskin gizi lainnya. Seratus gram sagu kering setara dengan 355 kalori. Di dalamnya rata-rata terkandung 94 gram karbohidrat, 0,2 gram protein, 0,5 gram serat, 10 mg kalsium, 1,2 mg besi, dan lemak, karoten, tiamin, dan asam askorbat dalam jumlah sangat kecil.
Mengkonsumsi sagu tentu lebih sehat karena tidak memiliki zat campuran dalam pembuatannya.Sagu juga praktis untuk disajikan, cukup direbus dengan air panas dan tambahan gula.
Mengganti mie instan dengan sagu, bukan hanya membantu menyediakan makanan yang sehat untuk pengungsi, tetapi juga membantu meningkatkan ekonomi para produsen lokal.
Afrizal Akmal
Langganan:
Postingan (Atom)
POPULAR
-
Suatu pagi di persimpangan jalan, sebuah botol aqua dicampakkan ke jalan dari celah kaca mobil yang setengah tertutup. Oops…, tiba-tiba da...
-
Aceh memiliki sejarah panjang perebutan sumber daya alam, dari zaman kolonial sampai sekarang. Sumber daya alam Aceh tidak hanya menj...
-
Apakah mungkin memperlambat laju kerusakan bumi, memperlambat meluasnya lubang pada lapisan ozon, menghentikan penyebaran gas polutan y...
-
Menyoroti masalah lingkungan hidup menjadi hal yang menarik bagi saya, apa lagi jika dapat menuliskannya secara popular, kritis, objekt...
-
Seorang lelaki tegap diejek sekerumunan orang, dari kaumnya sendiri, “Kamu terlalu banyak bicara, cobalah tunjukkan janjimu jika kau memang ...

Skenario dan Model Konseptual Hutan Wakaf
Misi
Konservasi secara langsung melalui pembelian lahan kritis. Diperuntukkan untuk membangun hutan yang berfungsi secara ekologis, baik sebagai sumber mata air, maupun sebagai penyerap karbon, ketersediaan buah-buahan dan tanaman obat, bahkan kayu untuk papan keranda, tempat bersarangnya burung-burung, lebah madu, primata dan species lainnya. Seterusnya akan diwakafkan dan disertifikatkan. Selengkapnya
Konservasi secara langsung melalui pembelian lahan kritis. Diperuntukkan untuk membangun hutan yang berfungsi secara ekologis, baik sebagai sumber mata air, maupun sebagai penyerap karbon, ketersediaan buah-buahan dan tanaman obat, bahkan kayu untuk papan keranda, tempat bersarangnya burung-burung, lebah madu, primata dan species lainnya. Seterusnya akan diwakafkan dan disertifikatkan. Selengkapnya
